Menangis di Persidangan, Mantan Ketua Kadin Ngaku Terjebak Mafia Bisnis Nasional
Senin, 12 Agustus 2019
Baliberkarya
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Denpasar. AA Ngurah Alit Wiraputra (52) mantan ketua Kadin Bali menitikkan air mata saat membacakan pembelaan dirinya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin IA Adnya Dewi,SH.MH, Senin (12/8) di ruang Sari Pengadilan Negeri Denpasar.
Sebelumnya, terdakwa yang didampingi Penasehat Hukumnya Ali Sadikhin,SH dkk,. Membacakan 1 bendel pledoi yang intinya bahwa dakwaan yang disebutkan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak sesuai dengan fakta kebenaran yang ada.
Karenanya kepada Majelis Hakim, pihaknya memohon agar terdakwa dibebaskan dari jeratan hukum Pidana. Karena lebih tepat dalam perkara yang menjerat terdakwa Alit ke arah hukum Perdata.
Setelah mendengar tanggapan pihak Penasehat Hukum terdakwa terhadap tuntutan JPU yang mengajukan hukuman pidana penjara selama 3,5 tahun. Hakim Adnya Dewi mempersilahkan terdakwa untuk menyampaikan pembelaannya sendiri.
Saat itu, pria bertubuh mungil ini membacakan tulisan dalam bentuk ketikan sebanyak empat lembar yang diakuinya ditulis sebelumnya dengan lisan sehari sebelum JPU membacakan tuntutannya.
"Saya tulis ini karena saya menuntut keadilan. Semuanya sudah jelas, saya merasa di zolimi dan dijadikan korban dari mafia bisnis nasional," ungkap terdakwa.
Dalam pembelaannya, Ia mengawali dengan membeberkan tentang kariernya selama ini hingga akhirnya mendapat kepercayaan sebagai Ketua Kadin Bali.
Dikatakannya, sebelum kasus ini bergulir bahwa dirinya sudah sangat hati-hati sekali untuk menerima proyek tersebut. Terlebih dalam hal melakukan penandatanganan.
Diakuinya bahwa hal itu berani dilakukannya lantaran karena merasa terdesak dan karena Sandos putra penguasa pemerintahan Bali saat itu.
"Sandos mengirim email terakhir pada 25 Januari 2012 dan meminta saya menandatangani. Alasannya, semua sudah dikonfirmasi kepada ayahnya ( Gubernur Bali saat itu). Dalam waktu 3 bulan saya terus didesak Sandos dan Made Jayantara untuk melanjutkan perjanjian dan nota kesepakatan," sebutnya.
Nota kesepakatan, lanjut Alit membacakan bahwa itu dibuat oleh Sandoz dan Sutrisno. Dimana drafnya dibuat oleh Made Jayantara. Hanya saja hal ini, kata dia tidak tertulis dalam isi dakwaan.
BACA JUGA : Kunjungi Pelatihan Paskibraka, Wabup Sedana Arta Minta Paskibraka Bisa Tampilkan Yang Terbaik
Dirinya juga mereka untut bahwa saksi yang ada dalam BAP bisa dihadirkan. "Namun dalam persidangan, lebih dari 60 persen saksi yang tertulis dalam berkas tidak dihadirkan oleh JPU dalam persidangan," baca Alit.
Dengan wajah terlihat "jengah" alit lanjut menyebut saksi-saksi yang ada di BAP, semisalkan dari Pelindo III yang dalam hal ini saksi AA.Gede Agung Mataram yang mengetahui kondisi real kawasan di Pelabuhan Benoa.
Termasuk juga saksi dari pihak Bank BNI dan Mandiri yang tau persis soal kemana saja aliran dana diberikan. Termasuk saksi Ketut Mega Hambara yang mencairkan dana untuk Putu Pasek Sandoz Prawirottama.
"Ada 8 saksi berkompeten yang ada dalam berkas perkara tidak dihadirkan. Sehingga sangat sulit untuk mencari kebenaran material dan keadilan dalam kasus ini," ungkapnya.
Tidak hanya itu, dituliskan Alit dalam pembelaannya bahwa dalam konferensi pers Mangku Pastika pada 15 April 2019, menyatakan semua perijinan telah selesai dan sudah diserahkan kepada pihak Sutrisno.
"Sebelumnya saya meminta 4 saksi diajukan pada persidangan, termasuk Mangku Pastika yang menjabat Gubernur Bali saat itu. Tetapi empat saksi yang saya mohonkan itu tidak dihadirkan. Maka dari saya memohon kepada yang mulia majelis hakim membebaskan saya dari seluruh tuntutan dan permasalahan ini. Karena saya tidak bersalah," kata Alit dengan berkaca-kaca dan nada suara yang mulai serak.
Menanggapi isi dari Pledoi pihak terdakwa, Jaksa I Gede Raka Arimbawa,SH akan menanggapinya pada sidang lanjutan, besok Selasa (13/8) tetap di ruang Sari PN Denpasar.
Sebagaimana tertuang dalam dakwaan sebelumnya, perkara yang menjerat terdakwa ini berawal pada tahun 2011, ketika Sutrisno bersama rekannya yang bernama Abdul Satar datang ke Bali untuk berinvestasi di proyek dermaga baru di kawasan Pelabuhan Benoa yang akan dijadikan tempat bersandarnya kapal-kapal pesiar.
Lalu, Sutrisno menyuruh Candra Wijaya untuk mencari orang yang bisa mengurus proses pengajuan perizinan proyek tersebut. Candra kemudian menghubungi Made Jayantara, lalu Jayalantara menghubungi terdakwa yang pada saat itu menjabat sebagai wakil ketua Kadin Bali. (BB)