"Stop Siaran Saat Nyepi" Masuk UU, DPRD Bali Minta Dukungan KPID DKI Jakarta
Selasa, 06 Desember 2016
Baliberkarya.com/ist
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Nasional. Untuk menggolkan usulan agar penyetopan siaran televisi dan radio saat hari raya Nyepi di Bali masuk dalam UU Penyiaran berbagai upaya dilakukan Komisi I DPRD Provinsi Bali. Setelah beberapa waktu mendatangi Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan KPI Pusat, Selasa (6/12/2016), Komisi I DPRD Provinsi Bali mendatangi KPID DKI Jakarta untuk meminta dukungan.
Kedatangan Komisi I DPRD Provinsi Bali ke KPID DKI Jakarta dipimpin ketuanya, Ketut Tama Tenaya, dan diikuti anggota Komisi I Gusti Putu Widjera, Ngakan Made Samudra, A. Kompiang Raka, I Komang Nova Sewi Putra, IGK Kresna Budi, I Wayan Gunawan, I Nyoman Oka Antara. Juga ikut Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Bali I Wayan Suarjana.
Menurut Tama Tenaya, pertemuan dengan KPID DKI untuk koordinasi menyamakan persepsi dalam berjuang agar revisi UU Penyiaran segera disahkan. Dalam revisi UU tersebut, Komisi I DPRD Bali mengusulkan agar penghentian siaran saat Hari Raya Nyepi diatur dalam UU Penyiaran. Selama ini, penghentian siaran pada saat hari raya Nyepi di Bali hanya berdasarkan imbauan dan Surat Edaran KPI kepada lembaga penyiaran di Bali.
Tama mengatakan, KPID DKI Jakarta menyambut baik usulan Komisi I DPRD Bali tersebut. KPID DKI memiliki visi yang sama untuk siaran muatan lokal, khususnya adat dan budaya agar ditayangkan lebih porsinya, dan sangat mendukung kearifan lokal seperti penghentian siaran saat hari raya Nyepi.
Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga disepakati untuk berjuang bersama agar DPR RI segera mengesahkan revisi UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyiaran. Sebab, sudah enam tahun revisi UU Penyiaran tersebut tidak kunjung disahkan oleh DPR RI.
Tama Tenaya menjelaskan, dalam revisi UU Penyiaran itu, Komisi I DPRD Bali menyampaikan beberapa usulan. Di antaranya, tidak boleh ada monopoli lembaga penyiaran; KPI diberi kewenangan memberikan sanksi untuk siaran yang melanggar, seperti pelecehan anak, kekerasan dan fornografi; dan setiap televisi yang bersiaran di daerah memiliki stasiun sehingga kualitas tayangan lokal lebih bisa melibatkan seniman-seniman lokal, dan jam tayang konten lokal 10 persen agar ditayangkan pada jam-jam yang produktif. Bukan ditayangkan pada jam hantu alias tengah malam atau dini hari. (BB)