Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Mengadu Ke Pasek, Puluhan Fotografer Bali Keluhkan Pungli di Obyek Wisata Bali

Senin, 13 Februari 2017

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

Baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Puluhan fotografer Bali yang tergabung dalam Asosiasi Foto dan Vidio Bali mendatangi kantor DPD RI Bali yang diterima langsung oleh Senator Bali Gede Pasek Suardika, Senin (13/2/2017). 
 
Kedatangan mereka untuk mengadukan masalah kenaikan tarif yang tak masuk akal yang dirasakan mencekik fotografer saat melakukan pemotretan pre wedding dan banyaknya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum preman dan pemuda yang mengatasnamakan Desa Adat di Bali.
 
 
Nyoman Iwan Parmarta, perwakilan dari Asosiasi Foto dan Vidio Bali mengatakan kedatangannya bersama sekitar 40 fotografer untuk mengajukan permohonan kepada Pasek selaku anggota DPD RI Bali agar menyampaikan aspirasinya terhadap tarif yang selama ini memberatkan fotografer lokal Bali maupun wisatawan yang ingin melakukan pre wedding dan mengembalikan tarif sebelumnya bahkan bila perlu digratiskan.
 
Menurutnya, Bali merupakan tempat pertama kali menerapkan pemberlakuan tarif khusus untuk pemotretan pre-wedding, sementara di negara lain seperti China, Malaysia, dan Thailand menerapkan sistem tanpa tarif alias gratis. 
 
Parahnya, di pantai dan mangrove di Bali yang seharusnya tidak dikenakan tarif malah sekarang dikenakan. Tak kalah anehnya, Art Centre yang dulunya menerapkan tiket hanya Rp 10 ribu sekarang menjadi Rp 500 ribu.
 
Menurut merekan, kegiatan fotografer merupakan kesenangan dan hoby individu yang menjadi komunitas untuk mengexplore alam Bali, jika pun mendapatkan job foto pre-wedding itu semua extra untuk pembayaran tarif lokasi. Iwan mengatakan fotografer tidak jarang memberikan tambahan dalam memberikan uang tambahan untuk membayar lokasi.
 
"Selain itu tempat-tempat yang tidak seharusnya tidak dikenakan tarif malah sekarang bertarif dari Rp 100 ribu hingga Rp 1 Juta untuk lokal Bali, seperti pantai dan mangrove juga sekarang bertarif sehingga memberatkan fotografer lokal Bali dalam melakukan pemotretan. Sementara fotografer Bali, karena fotografer ini juga kan menunjang pariwisata terutama mengexplore tempat wisata Bali lewat media saat melakukan pemotretan," ungkapnya.
 
 
Selain penerapan tarif, fotografer Bali juga mengeluhkan adanya pungutan liar (pungli) yang terjadi dibanyak tempat di Bali yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan Desa Adat tanpa memberikan karcis atau kwitansi tanda bukti pungutan. 
 
Salah satunya di Tukad Unda dan Tegal Wangi yang seharusnya gratis malah ada pemungutan dari Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu bahkan ada juga sampai Rp 1 juta.
 
"Kami berharap pemerintah Bali membuatkan voucher untuk fotografer, ketika membutuhkan tempat pre-wedding maka fotografer akan mencari voucher dan menyetorkan kepengelola yang sah, dan pengelola itulah yang akan menukarkan voucher itu untuk uang cash ke pemerintah Bali," harapnya.
 
 
Terkait keluhan asosiasi fotografer Bali ini, Anggota DPD RI Pasek Suardika menyatakan sasar pemungutan iuran selama ini kurang kuat, termasuk pungutan dari Peraturan Gubernur (Pergub) juga tanpa analisa yang kuat. 
 
Sementara disisi yang lain, pemerintah tidak mampu menyiapkan lapangan kerja, sedangkan para fotografer itu sudah berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri namun justru dipersulit dengan mekanisme pungutan tersebut. 
 
"Saat ini mereka (fotografer) merasakan dibalik perkembangan mereka mengembangkan karir terhambat oleh banyaknya pungutan-pungutan liar yang semakin lama semakin memberatkan. Termasuk lokasi yang dimiliki Pemerintah Propinsi maupun alam yang terbentang secara terbuka seperti laut, danau, sungai pungutannya pun sudah tidak lagi masuk akal," ucap Pasek.
 
Padahal, kata Pasek, fotografer Bali secara tidak langsung telah mempromosikan obyek-obyek wisata Bali yang efeknya adalah ketika ada foto bagus, orang lain yakni wisatawan akan pengen datang bikin seperti itu di Bali sehingga mendatangkan devisa, daripada pejabat dan wakil rakyatnya promosi pariwisata keluar negeri mempromosikan Bali.
 
 
"Khan mending foto-foto mereka, justru mereka harusnya diberikan agen promosi pariwisata. Sekarang mereka khan dijadikan sasaran pungutan resmi maupun pungutan liar. Ini yang akan kami coba dampingi dan berdayakan agar mereka bisa kuat dan mandiri sebagai profesi yang handal," terangnya.
 
Melihat realita ini, Pasek meminta pemerintah agar ada meninjaua ulang soal Pergub agar jangan sampai anak muda dijadikan sasaran pungutan dan iuran yang sangat besar begitu. Menurutnya, ada tempat lain untuk mencari dana dan jangan sampai kesannya pemerintah hadir bukannya membuka lapangan kerja tapi memeras calon-calon pekerja yang berwirausaha. Hal inilah, yang di sesalkan Pasek dan berharap iuran tinggi dan pungli ini bisa ditinjau ulang.
 
"Contoh di Art Centre, pungutan dari dari 10 ribu kini naik menjadi 500 ribu itu khan kenaikan yang luar biasa. Itu sudah tidak masuk akal. Termasuk yang di Monumen Bajra Sandi lapangan itu bikin pre wedding juga di mintai pungutan, janganlah. Bikin video klip Bali juga di mintai pungutan. Sangat tidak layak dalam konsep discomunity tourism. Di negara lain tidak ada memperlakukan seperti itu," tegas Pasek.
 
 
Parahnya, lanjut Pasek, di obyek wisata yang tidak dikelola dengan baik sama pemerintah, para fotografer juga dipalak sama preman-preman dan pemuda-pemuda yang tidak jelas tapi selalu berbaju adat dengan dalih kepentingan adat. Bagi Pasek, hal ini perlu ditata agar semua tumbuh berkembang bersama-sama dan bila perlu pemuda-pemuda yang melakukan pemalakan itu lebih baik dididik menjadi fotografer sehingga mereka juga bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih sehat.
 
"Solusinya tentu akan kita carikan setelah mereka menyatukan untuk melakukan penjajakan. Ini khan harus didampingi, di fasilitasi dan dibina. Msalahnya kadang-kadang pungutan itu setengah dari nilai kontrak mereka belum dipotong transport dan lainya. Intinya terlalu beratlah sementara mereka para fotografer mencoba membangun potensi tenaga kerja ekonomi kreatif," tandasnya.(BB).


Berita Terkini