Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Bali tetap Minta Kewenangan Otonomi Simetris

Rabu, 25 Mei 2016

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

baliberkarya.com

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com. Denpasar-Bali memiliki keunikan karena di samping pemerintahan desa secara formal, terdapat pemerintahan adat yang disebut desa pakraman, yang memiliki kekhasan tersendiri antara satu desa pekraman satu dengan lainnya berbeda, dengan diatur Undang-undang (awig-awig, prerarem) masing-masing.

Terkait hal tersebut, Gubernur Bali Made Mangku Pastika kembali menegaskan sikap untuk Bali tetap meminta kewenangan otonomi simteris kepada pemerintah pusat. Permintaan itu disampaikan Gubernur Mangku Pastika di hadapan Pimpinan KPK dan peserta rapat saat mengikuti acara Sosialisasi Pengawalan Bersama Pengelolaan Dana Desa Wilayah Bali, NTB dan NTT di Ruang Rapat Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Selasa (24/5/2016). “Penyaluran BKK di Bali akan menjadi kendala. Ya untuk saat ini sih masih baik-baik saja. Konsep desa adat secara nasional tidak sama dengan konsep desa pekraman di Bali. Budaya, adat, tradisi, dan agama sudah menjadi satu dalam pemerintahan desa pekraman. Jika BKK disalurkan lewat desa dinas tentuya akan menimbulkan permasalahan, karena tidak akan merata. Satu sisi untuk memelihara dan menjaga budaya, adat, tradisi dan agama serta lagi satu terdapatnya subak membutuhkan biaya yang sama oleh masing-masing desa pekraman. Untuk itu, kami berharap kami bisa memperoleh kewenangan otonomi asimetris agar bisa mengelola sendiri dana  yang ada,” beber Pastika.

Desa Dinas mengatur hal-hal terkait kedinasan, sedangkan desa pakraman mengatur budaya, adat, tradisi, dan agama yang sangat erat kaitannya tidak bisa dipisahkan. Desa Pekraman bersifat sangat otonom sehingga terkadang kedinasan tidak bisa ikut campur dalam permasalahan didalamnya. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam perkembangannya saat ini menimbulkan permasalahan, terutama terkait pengelolaan Bantuan Keuangan Khusus (BKK). Seperti diketahui Desa Pakraman yang tidak berbadan hukum saat ini, sehingga  sesuai aturan tidak bisa lagi menerima hibah/bansos, sehingga untuk mengatasinya bantuan dialihkan dalam bentuk BKK yang disalurkan lewat desa dinas oleh Pemprov Bali. Penyaluran BKK yang nilainya merata pada setiap desa pun menjadi kendala karena beban yang ditanggung masing-masing desa berbeda, yakni berbedanya jumlah desa pekraman yang dibawahi atau lokasi desa pekraman yang lintas kabupaten, sehingga pembangunan pun tidak bisa dilakukan secara merata. Desa pekraman satu dengan lainnya belum tentu mendapat dana yang sama, dan terkadang desa pekraman yang miskin bisa mendapatkan dana yang lebih kecil karena desa dinasnya membawahi banyak desa pekraman. Permasalahan tersebutlah yang menjadi alasan agar Bali bisa mendapatkan kewenangan otonomi asimetris, sehingga bisa mengelola sendiri dana dari pusat.

Gubernur Pastika menyatakan kekhawatirannya akan besarnya kucuran dana yang diterima desa akan berpotensi menyeret para perangkat desa pada tindak pidana korupsi, yang salah satunya karena kurangnya pemahaman terhadap aturan yang berlaku. Penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang berlaku secara nasional, harus dipahami secara komperehensif oleh seluruh perangkat desa dan pejabat terkait. Dalam kondisi tersebutlah, menurut Pastika pengawalan sangat diperlukan, mengingat saat ini ditengah ketakutan para aparat desa, tingkat serapan dana desa cenderung masih rendah. Keterlibatan instansi terkait di tingkat pusat dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan terkait sangat penting dilaksanakan secara berkelanjutan, sehingga kesalahan penerapan ditingkat bawah dapat diminimalisir. Begitu pula pemahaman ditingkat pejabat akan membantu mempercepat serapan dana desa, karena fungsi konsultasi dapat berjalan efektif di daerah.

Sementara itu, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri, Ahmad Erani Yustika, menyatakan dukungannya terhadap tata kelola desa di Bali yang ditopang oleh kebudayaan dalam menunjang pemerintahan formal. Ia juga mengapresiasi Bali masih menjalankan nilai-nilai lokal dengan kuat, seperti pelaksanaan awig-awig menurutnya akan bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tingkat desa. Pembangunan di Indonesia saat ini yang mengutamakan daerah pedesaan bisa diajakan ajang perayaan budaya, melalui penyatuan aturan formal dengan nilai-nilai lokal.

Tak hanya itu, pembangunan yang sudah ditunjang bantuan dana desa harus bisa terlaksana dengan efektif. Untuk itu pemanfaatan dana desa menurutnya harus melalui musyawarah desa (musdes) agar tercipta program yang terencana, disamping juga musdes bermanfaat untuk mengatur seluruh ritme kehidupan di Desa. “Melalui musdes, warga akan merasa memiliki program yang dilaksanakan sehingga tergerak untuk ikut berpartisipasi menjaga program tersebut agar relevan bagi lingkungannya,” ujar Ahmad Erani.

Ia pun menekankan pentingnya fungsi pengawasan, agar apa yang menjadi tujuan pemerintah pusat dapat terlaksana dengan baik tanpa menimbulkan kesulitan ditingkat desa. Dalam mengawasi pelaksanaan dana desa, ia mengaku sudah melaksanakan beberapa program kerjasama pengawasan dengan lembaga-lembaga pengawasan seperti BPKP maupun KPK. “diantara program-program lainnya, program dana desa mendapatkan pengawasan paling lengkap, untuk mengminimalisir kesalahan,” imbuhnya.

Di lain sisi, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Alexander Marwata yang membuka secara resmi acara tersebut menjelaskan beberapa persoalan yang dihadapi dalam pemanfaatan dana desa diantaranya belum lengkapnya regulasi dan juklis, pengawasan oleh Inspektorat dan camat yang masih rendah, maupun SDM yang belum memadai.

Namun di balik persoalan yang ada, ia tetap berharap kepada kepala desa agar dana desa yang digelontorkan harus bisa dimanfaatkan seefektif mungkin untuk membangun desa. Ia pun menyampaikan indikasi penyimpangan yang terjadi dalam realisasi dana desa tersebut dimaknai dengan bijaksana, apabila terdapat kesalahan merupakan suatu pembelajaran.

“Kita harus lebih bijaksana dalam menilai suatu penyimpangan, kesalahan administrasi cukup diatasi dengan sanksi administrasi, jika ada indikasi penyimpangan namun tidak merugikan negara saya rasa dengan pemecatan saja cukup. Jangan sampai ada kesalahan dengan nilai 20 juta harus diproses, yang tentunya biaya perkaranya yang akan dihabiskan jauh lebih besar  dari kesalahan yang dilakukan,” cetus Marwata. 

Ia pun mengaku akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum agar melakukan pendekatan lebih selektif dalam mengawal penggunaan dana desa, untuk menghilangkan ketakutan aparat desa yang mempengaruhi kecilnya serapan pembangunan selama ini. Senada dengan Ahmad Erani Yustika, Ia pun setuju untuk melibatkan masyarakat sebagai pengawas yang paling efisien, untuk mengatasi kendala pengawasan pemerintah di atasnya seperti kabupaten dan provinsi yang lokasinya berjauhan.(bb)


Berita Terkini