Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Miris! Penuh Rekayasa, Mafia Tanah 'Rampas' Tanah Warga Tegal Jambangan Sayan

Senin, 01 Juli 2019

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

Baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Gianyar. Sengketa berkepanjangan lahan 40 hektar di kawasan Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Gianyar yang diklaim telah disertifikatkan oleh pengempon Pura Taman Kemuda Sari Saraswati hingga terus bergulir. Bahkan, sebanyak 68 KK dari 4 banjar yang tinggal di kawasan Tegal Jambangan ini masih menuntut kejelasan sertifikat lahan milik mereka yang dirampas dan diduga dilakukan penuh rekayasa oleh sejumlah oknum mafia tanah yang menghantui warga di Bali.
 
 
Menurut warga Tegal Jambangan Sayan, sejak berabad-abad telah tinggal hingga beranak cucu dilahan yang dirampok paksa tersebut. Mereka mengaku sejak dulu rutin membayar pajak, sedangkan pengempon Pura yang hanya berbekal status kepemilikan lahan duwe seluas 20 are dengan mudahnya menerbitkan sertifikat. 
 
Seluruh warga Tegal Jambangan Sayan pun meyakini jika sertifikat yang baru diterbitkan itu bodong, apalagi dalam proses penerbitannya banyak hal-hal janggal. Mereka juga menuturkan dari dulu warga ingin duduk bersama dengan pihak-pihak yang merampas tanah mereka, tapi tidak ada kejelasan lantaran ada beberapa hal yang janggal. 
 
 
"Dari 20 are kok bisa menguasai 40 hektar? Yang tanda tangan juga bukan pejabat berwenang di Desa Sayan, melainkan Lurah Ubud yang tidak ada kaitan dengan tanah ini. Apa boleh seperti itu? Ini yang kita pertanyakan sejak dulu dan tidak terjawab sampai sekarang," ucap penasehat hukum warga, Putu Arsana bersama puluhan perwakilan warga yang menuntut keadilan saat ditemui dilokasi tanah mereka, Senin (1/7/2019).  
 
Baginya, proses penerbitan sertifikat ini telah membodohi masyarakat dan kejahatan yang luar biasa. Bagaimana tidak, awalnya mereka diminta untuk mengumpul tanda bukti pembayaran pajak terkait tanah ke kantor Camat Ubud dengan janji akan dibuatkan sertifikat per KK, tapi ditunggu lama, bukti-bukti itu dinyatakan hilang. 
 
 
"Lalu dengan mudahnya keluar sertifikat atas nama pengempon pura atas kepemilikan 40 hektar ini. Ini terjadi rekayasa yang luar biasa. Kasian warga yang nasibnya terkatung-katung," ungkap Putu Arsana.
 
 
Putu Arsana bersama warga sangat terpukul dan menyayangkan aksi pembuldozeran oleh aparat terkait seolah tanpa memiliki hati nurani tidak mengindahkan pemilik rumah. Parahnya, ada beberapa warga yang berupaya menghalangi, justru dicekik dan diancam. Bahkan ada juga warga yang pegang HP padahal tidak merekam dikira merekam, dia juga dicekik.
 
"Hingga kini warga Tegal Jambangan masih trauma dengan aksi eksekusi kejam itu. Terlebih, tak satupun warga luar yang mengetahui aksi itu selama sekitar 3 bulan berlangsung. Seluruh warga sangat terisolasi dan siapapun tidak bisa masuk kawasan ini saat eksekusi berlangsung," terangnya.
 
Seluruh warga mengaku mereka diperlakukan bak teroris dimana penjagaan di pintu masuk kawasan rumah mereka dijaga ketat. Bahkan warga setempat dilarang merekam maupun mengambil foto saat eksekusi berlangsung. 
 
"Warga seolah terisolasi, tak bisa berbuat banyak saat melihat bale daja, dapur dan bangunan rumah lainnya dirobohkan aparat saat dieksekusi," katanya.
 
Ket Foto: Warga Tegal Jambangan, Dewa Made Rai
 
Menurut salah satu warga, Dewa Made Rai (70)mengatakan eksekusi 2 tahun lalu yang diaga ketat aparat kepolisian itu masih menyisakan trauma mendalam. Mirisnya, adiknya sendiri yakni Dewa Ketut Raka Sudarma (65) sampai meninggal dunia karena merasa tertekan. 
 
"Eksekusi itu dilakukan tanpa pemberitahuan. Rumah kami yang permanen diratakan dengan tanah dan hanya tersisa sanggah dan sumur. Adik tyang sampai dirawat 16 hari di RS Sanglah, sampai akhirnya meninggal," kenangnya.
 
 
Kini, warga Tegal Jambangan hanya berharap tanah yang mereka tempati bisa kembali menjadi hak milik yang seharusnya mereka kuasai. Selama bertahun-tahun warga hanya bisa diam, hingga dikejutkan dengan adanya informasi bahwa tanah seluas 40 hektar telah disertifikatkan sejak tahun 2000an.
 
"Dulu hanya sedikit yang paham untuk mengurus sertifikat. Sebagian lagi tidak melek hukum. Jadi Ketika warga meminta berkas, dikatakan hilang. Lalu sekitar tahun 1990an, pembayaran pajak dari warga distop. Tahunya keluar pembayaran pajak duwe Pura. Disini kami yakin mulai ada yang ganjil dan penuh rekayasa," sentilnya.
 
 
Awalnya, menurut warga sekitar tahun 1970an ada orang suruhan datang dengan modus ingin bantu warga yang belum sertifikatkan tanah. Sehingga warga diminta mengumpul kelengkapan, termasuk diantaranya tanda bukti pembayaran pajak untuk disetorkan di kantor Camat Ubud, namun berselang hingga 5 tahun sertifikat yang dijanjikan tak kunjung datang. 
 
"Katanya tanah ini sudah disertifikatkan dan dijual oleh pengempon pura. Ada intimidasi, warga gak tahu menahu siapa yang jual siapa yang beli. Sekitar tahun 2008, warga mendapatkan pendampingan hukum dan berbagai upaya telah dilakukan, untuk menuntut kejelasan status tanah itu. Namun hingga kini warga tidak mendapatkan kejelasan," tuturnya dengan raut wajah sedih.(BB).


Berita Terkini