Beda Pilihan Sanjiharta ‘Kasepekang’, Dewan Jembrana Gerah
Jumat, 09 Maret 2018
baliberkarya
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Jembrana. Mencuatnya kasus “Kasepekang” atau pengucilan yang dialami oleh Ketut Gede Sanjiharta, warga asal Banjar Panca Dharma, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung lantaran berbeda pilihan politik dalam Pilgub Bali mendatang dengan warga Banjar Adatnya, ternyata mengundang keprihatinan anggota DPRD Jembrana.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Jembrana Putu Dwita tadi siang mengaku jika benar peristiwa tersebut terjadi dirinya sebagai wakil rakyat yang dipilih rakyat melalui proses politik yang demokratis, sangat menyayangkannya.
Menurutnya, kasus “Kesepekang” karena beda pilihan politik adalah sangat melanggar hak asasi manusia. termasuk hak yang dijamin oleh konstitusi, yakni sebagai warga negara berhak untuk memilih dan dipilih.
Ket: Ketut Gede Sanjiharta (korban kasepekang) dok
“Ini harus menjadi perhatian semua pihak. Kasus ini tidak boleh lagi terjadi dimanapun, termasuk di Jembrana karena ini sangat mencederai demokrasi,” tegasnya, Jumat (9/3/2018).
Lanjut dewan dari Fraksi Demokrat ini, lembaga adat menurutnya tidak boleh memaksakan warganya untuk memilih. Apalagi pemaksaan itu didasarkan oleh pemberian bantuan hibah.
Menurut Duita, kasus yang dialami oleh Ketut Gede Sanjiharta tersebut, semakin membuktikan adanya indikasi yang kuat bahwa hibah itu dipakai untuk mempengaruhi pilihan kepada salah satu pasangan calon. Hal ini menurutnya sudah merupakan pelanggaran Pilkada.
Terkait kasus tersebut, Bawaslu, Ombudsman dan pihak terkait agar segera menyikapi permasalahan yang sangat serius tersebut, mengingat model kasus seperti itu sangat mencederai demokrasi.
“Saya berani katakan kasus ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ini Demokrasi primitif dan tidak beradab,” ujarnya.
ket : Sanjiharta saat melapor kasusnya ke Bawaslu Bali (dok)
Agar kasus ini tidak terjadi lagi, termasuk di Jembrana, dewan asal Kelurahan Dauhwaru, Jembrana ini meminta semua pihak taat asas karena aturannya sudah jelas. Jika ada pelanggaran, pihak yang berwenang harus memproses sesuai aturan dan hukum yang berlaku.
“PHDI, Majelis Utama, Majelis Madya dan Majelis Alit harus turun tangan untuk mensosialisasikan kepada lembaga-lembaga adat di bawah agar tidak menggunakan adat sebagai alat politik,” tutupnya.(BB)
Berita Terkini
Berita Terkini
Pemkot Denpasar Imbau Warga Beli LPG 3 Kg di Pangkalan Resmi
10 Januari 2025
Audiensi Bersama Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan
10 Januari 2025
Bappebti Serahkan Pengawasan Aset Kripto ke OJK dan BI
10 Januari 2025