Menurut Devy, pada 16-17 Februari 1963 warga melaporkan sempat merasakan gempa terasa. "Itu yang dilaporkan pada saat itu. Bisa jadi gempanya sudah terjadi sebelumnya, cuma orang-orang saat itu tidak sadar," kata Devy di Pos Pengamatan Gunung Api Agung di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Senin 4 Desember 2017.
Kemudian, Devy melanjutkan, pada 18-19 Februari warga melaporkan mendengar suara gemuruh dari gunung setinggi 3.142 mdpl tersebut. Gemuruh itu terdengar jelas oleh warga dari Desa Tianyar yang terletak di sisi utara Gunung Agung.
"Suara gemuruh itu terdengar terus sampai pukul 01.00 WITA tanggal 19 Februari 1963. Erupsi dimulai tanggal 19 Februari pukul 03.00 WITA dinihari," ungkapnya.
Awalnya, warga melihat asap terlebih dahulu. Pada pukul 05.00 WITA dilaporkan abu setinggi 6 kilometer ke luar dari kawah Gunung Agung.
"Pada letusan tahun ini ketinggian asap 4 kilometer. Darwin melaporkan 5 kilometer. Tapi kita tetap pakai 4 kilometer, karena kita ukur hanya saat kolom itu masih vertikal. Saat pecah sudah tidak kita ukur. Pengukuran itu untuk mengetahui energi yang menghasilkan letusan sebesar itu," jelasnya.
Pada tahun 1963 juga terpantau adanya sinar api atau glow. Selanjutnya, mulai tanggal 22 Februari hingga Maret sebelum terjadinya erupsi paroksisma, terjadi fase erupsi putus-putus seperti saat ini.
"Erupsinya tidak terus-terusan. Ada istirahat, meletus, istirahat lalu meletus lagi. Jadi dia membutuhkan waktu juga untuk ke fase erupsi besarnya," terangnya.
Satu-satunya hal yang membedakan erupsi 1963 dengan saat ini yakni mengenai pertumbuhan lava. Dulu, lava mengisi lantai kawah hingga penuh hanya satu hari saja. "Di hari yang sama lava sudah penuh. Di hari kedua sudah ada guguran lava dan awan panas," tuturnya.
Saat ini, ujar Devy, lava baru memenuhi lantai kawah sebanyak 20 juta meter kubik atau sepertiga lantai kawah yang bisa menampung 60 juta meter kubik material panas magmatik tersebut.
Terkait pelambatan pertumbuhan lava menurut Devy ada dua kemungkinan. Pertama, energi magma rendah sehingga pertumbuhannya tak secepat saat erupsi tahun 1963.
"Kedua, karena sekarang kawahnya dalam, tidak sedalam saat erupsi terjadi tahun 1963. Kalau dulu kawahnya tidak dalam, dia tidak butuh waktu panjang untuk memenuhi lantai kawah dan berguguran," tegasnya.
Kemungkinan kedua bisa saja benar. Sebab, dari penuturan warga yang pernah naik ke puncak Gunung Agung sebelum erupsi tahun 1963 menjelaskan jika puncak Gunung Agung lebih tinggi dan rata, tidak memiliki cekungan seperti saat ini.
"Jadi, apa yang terjadi sekarang ini mirip dengan erupsi tahun 1963," pungkas Devy.(BB).