Langgar Putusan MK, Ahli Hukum Tata Negara Sebut Tuduhan Korupsi Prof Antara Tak Penuhi Unsur Pidana

  02 Januari 2024 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Mantan Hakim MK yang juga Ahli Hukum Tata Negara, Dr Dewa Gede Palguna SH, M.Hum. dalam kesaksian Sidang lanjutan Prof Antara ini kembali digelar Selasa 2 Januari 2024, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menuduh mantan Rektor Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.ENG. IPU., terus bergulir. Sidang lanjutan Prof Antara ini kembali digelar Selasa 2 Januari 2024, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar.

Sidang yang menjadi perhatian publik ini menghadirkan sebanyak 4 orang saksi, diantaranya, saksi dari mahasiswa Unud, Prof Sujaya selaku Ketua LPPPM Unud, Dr. Andreas selaku Wakil Dekan 2 FISIP Unud, dan saksi keempat yakni saksi ahli Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Ahli Hukum Tata Negara yang juga dikenal sebagai mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Ahli Hukum Tata Negara, Dr Dewa Gede Palguna SH, M.Hum., dalam kesaksiannya menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25 tahun 2016, yang menentukan ada dan tidaknya kerugian keuangan negara, itu harus dihitung dan berupa actual loss oleh BPK atau pejabat berwenang yang ditunjuk. 

"Apa akibatnya kalau hal itu tidak terjadi atau tidak ada?. Menurut putusan MK, berarti tidak boleh seseorang dituduh dengan tindak pidana korupsi, kalau tidak ada actual loss itu," ucap Dewa Palguna saat dihadirkan sebagai ahli, dalam persidangan dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mantan Rektor Unud Prof I Nyoman Gde Antara, Selasa 2 Januari 2024.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) ini lebih jauh memaparkan bahwa kerugian keuangan negara dalam suatu kasus korupsi, harus jelas adanya actual loss atau kerugian negara yang benar-benar sudah terjadi. Bahkan hal itu harus melalui hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

"Karena pihak yang berhak menilai atau menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP. Hal tersebut diatur dalam putusan Mahkamah konstitusi Nomor 25 tahun 2016. Dari putusan MK itu, adalah BPK yang berhak memutuskan adanya kerugian negara, dalam suatu kasus Tindak Pidana Korupsi,” jelas Dewa Palguna dihadapan majelis hakim serta JPU dan Penasehat Hukum Prof Antara.

Dewa Palguna yang juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan dalam prakteknya memang diperbolehkan melakukan kolaborasi dengan pihak ketiga dalam melakukan audit dalam suatu kasus dugaan korupsi, namun ia menegaskan untuk finalnya, yang memutuskan harus melalui BPK.

“Kerja sama dengan pihak ketiga untuk audit, memang diperbolehkan, tetapi dalam prakteknya, harus BPK yang memutuskan kerugian negara sehingga, untuk hasil audit dari pihak ketiga, tidak bisa dipakai acuan untuk kasus dugaan korupsi,” katanya.

Foto: Mantan Hakim MK yang juga Ahli Hukum Tata Negara, Dr Dewa Gede Palguna SH, M.Hum.

Dalam kasus dugaan korupsi SPI Unud ini, menurut para penasehat hukum terdakwa, hal itu belum ada penghitungan. Bahkan penghitungan dilakukan setelah penetapan tersangka, dan itu pun bukan dihitung oleh BPK. Terkait hal itu, Dewa Palguna mengatakan kalau menurut putusan MK tentu hal itu tidak boleh karena untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana korupsi, itu harus dihitung dulu, ada actual loss nya dan berapa jumlahnya, itu harus dihitung BPK.

“Kalau hal itu dilanggar, tentu tindak pidana yang disangkakan pada suatu kasus, akan tidak memenuhi unsur. Ini logika dari putusan MK,” tegasnya. 

Salah satu penasehat hukum Prof Antara, Gede Pasek Suardika (GPS) bersama Agus Saputra serta Made Kariada mengatakan, sampai saat ini, jika melihat alat bukti dan fakta sidang, semua sudah terjawab. Sampai sekarang belum ada angka 1 rupiah pun yang terkait dengan terdakwa. 

"Dari total 28 saksi yang sudah dihadirkan, satupun tidak ada yang mengatakan ada dana mengalir ke pribadi Prof. Antara," sebutnya.

Dengan belum muncul ada kerugian negara pada kasus ini, pihak penasehat hukum bahkan memohon kepada hakim agar menghadirkan auditor yang membuat hasil audit bahwa ada kerugian negara. 

“Kita yang minta, padahal itu kewajiban JPU menghadirkan dengan gagah berani. Namun JPU bilang tidak. Padahal ini kasus korupsi,” kata Gede Pasek Suardika (GPS).

GPS sapaan lain Gede Pasek Suardika menjelaskan, pentingnya pihak auditor dari JPU tersebut dihadirkan, karena sebelumnya telah berhasil menggugurkan hasil audit lima lembaga audit yang kredibel dalam kasus SPI Unud. Bahkan dari hasil auditnya menyatakan ada kerugian negara sampai ratusan miliar.

“Bayangkan, dalam kasus korupsi, yang mengaudit dan menyatakan ada kerugian negara tidak dihadirkan. Namun yang mengaudit handphone terdakwa justru dihadirkan. Kalau ini kasus ITE ya wajar, namun ini kasus korupsi,” sentil GPS.(BB).