Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Analisis Pesisir Pulau Serangan, Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali

Kamis, 30 Januari 2025

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

Ket Poto : Anggota DPRD Bali Fraksi PDI Perjuangan Made Suparta

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar. Menyikapi persoalan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat bahwa terdapat informasi penyematan nama suatu tempat di sekitar pulau serangan, sehingga sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melaksanakan instrumen pengawasan sehingga DPRD Provinsi Bali dirasa perlu untuk membentuk forum dengan melakukan pemanggilan kepada Manajemen PT. BTID terkait meminta klarifikasi dan menjelaskan kepada Masyarakat Bali sehingga persoalan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat dapat dijelaskan sehingga tidak menimbulkan prasangka maupun dugaan bertindak secara melawan hukum dan/atau tidak sesuai dengan norma hukum yang ada.

Pembentukan forum dengan melakukan pemanggilan kepada Manajemen PT. BTID tidak saja diperuntukkan sebagai format klarifikasi, namun DPRD Provinsi Bali juga perlu dan memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan evaluasi, yang apabila dilihat dari sudut pandang analisis hukum bahwa kedudukan DPRD Provinsi Bali perlu menjadikan perhatian utama adalah potensi pelanggaran hukum dalam bentuk aktivitas yang memiliki dampak merugikan terhadap kekayaan negara serta sumber daya alam yang dilindungi oleh undang-undang.

Klarifikasi dan penjelasan kepada Masyarakat Bali oleh pihak Manajemen PT. BTID perlu dilakukan dengan tanpa beban yang perlu diperhitungkan apabila pada prinsipnya pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah oleh Manajemen PT. BTID dilaksanakan sesuai dengan mekanisme perijinan dan ijin operasional yang telah ditetapkan. Hal tersebut juga merupakan suatu wujud dari pelaksanaan marwah NKRI sebagai negara yang berasaskan atas hukum sehingga suatu pelaksanaan aktivitas yang dilakukan sesuai dengan mekanisme perijinan dan ijin operasional yang telah ditetapkan, termasuk suatu narasi tentang sesuatu juga tentu harus dasarkan atas aturan hukum terkait, sehingga dapat ditemukan unsur-unsur dari kegiatan yang dilakukan apakah memenuhi standar yang sudah ditetapkan atau telah terjadi pelanggaran hukum.

Menelisik secara normatif terhadap praktek-praktek yang dilakukan di atas laut dan pesisir adalah merupakan aktivitas yang memenuhi unsur melanggar ketentuan yang kemudian wajib ditempuh melalui jalur hukum. Hal tersebut telah lama ternarasikan sejak Tahun 2010 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 sebagai putusan yang menguji ketentuan UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Apabila dicermati bahwa putusan ini telah mengabulkan sebagian permohonan terutama perihal opini Mahkamah Konstitusi dalam uraian putusan yang menarasikan bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menempatkan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai hak kebendaan dan tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tersebut sangat mencermati penegasan dalam UUD NRI 1945 yang telah merujuk pada frase kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, maka menurut Mahkamah Konstitusi bahwa makna sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain. Sehingga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVIII/2010 menurut Mahkamah Konstitusi bahwa negara yang merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk dalam wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang kesemuanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sehingga apabila dihubungkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sebagai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) telah dengan mudah untuk ditelusuri mengingat segala aktivitas telah terekam dalam suatu kantor penerbit ijin sebagai organ pemerintah yang melaksanakan kuasa pemerintahan, yang sekurang-kurangnya pasti memuat nama, nomor surat, angka luas, tanggal pasti, termasuk legalitas berupa tanda tangan pejabat. Sehingga apabila dihubungkan dengan delik bahwa apabila ditemukan pelanggaran bukan delik aduan sehingga tidak memerlukan adanya pengaduan. Proses ini menjadi penting karena memuat potensi terselubung terkait dugaan adanya aktivitas-aktivitas yang dapat dikatakan telah melakukan penyerobotan pemanfaatan kekayaan alam yang tentunya tidak diharapkan termasuk dalam praktek seperti adanya praktek ilegal, unsur penyuapan ataupun bahkan dugaan korupsi dan kolusi di dalamnya.

Selanjutnya pada kenyataan di Pulau Serangan adalah bagian dari Proyek Strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang dapat diartikan bahwa Pemerintah Pusat melaksanakan kewenangan yang dimiliki sebagai pengguna kuasa (negara) yang dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Mencermati hal tersebut Pemerintah Pusat telah menetapkan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah di sekitar Pulau Serangan yang dilakukan oleh PT. Bali Turtle Island Development (PT. BTID). Hal tersebut tercermin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali yang telah ditetapkan sejak tanggal 5 april 2023. Maka perlu dilakukan proses pembentukan forum dengan melakukan pemanggilan kepada Manajemen PT. BTID untuk melakukan klarifikasi dan menjelaskan kepada Masyarakat Bali sehingga persoalan yang sedang diperbincangkan oleh publik sehingga tidak menimbulkan prasangka maupun dugaan bertindak secara melawan hukum dan/atau tidak sesuai dengan norma hukum yang ada. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum.

Selanjutnya apabila dianalisa berdasarkan sudut pandang politis bahwa pasca persoalan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat terkemuka ke publik bahwa terdapat informasi penyematan nama suatu tempat di sekitar pulau serangan serta adanya pemanfaatan dan pengelolaan wilayah di Kawasan Pulau Serangan yang dilakukan oleh PT. Bali Turtle Island Development (PT. BTID), apabila merujuk pada marwah pembagian kekuasaan pemerintah yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya yang secara tegas telah menetapkan berbagai kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah, terutama untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun pada kenyataan hal tersebut, pasca dilakukannya pemanfaatan dan pengelolaan wilayah melalui penetapan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus memuat potensi berbagai persoalan terkait dengan proyek-proyek sebagai program strategis pemerintah pusat di daerah yang seakan mengeliminasi kekuasaan pemerintahan daerah untuk menjaga wilayahnya sebagai pelayan masyarakat, sekalipun penetapan kawasan tersebut telah memperoleh penetapan dari pihak Gubernur, namun tetap berpotensi terutama mengkaburkan tugas pokok dan fungsi dari DPRD Provinsi dalam hal melakukan pengawasan secara utuh kepada setiap aktivitas-aktivitas yang ada di kesatuan Wilayah Provinsi. Hal tersebut secara jelas dapat diuraikan telah tercermin dari kurangnya ruang pengawasan terhadap proyek-proyek sebagai program strategis pemerintah pusat di daerah dan hanya menyisakan pertanyaan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat tanpa mengetahui prosedur dan mengikuti proses tahapan pelaksanaan proyek-proyek sebagai program strategis pemerintah pusat di daerah tersebut. Kemudian sebagai penyambung lidah masyarakat sebagai tugas utama dari DPRD maka kedudukan DPRD Provinsi hanya ingin memastikan kemudian atas potensi utama yang dapat dirasakan masyarakat terutama tidak hilangnya akses dan keleluasaan dan/atau hilangnya pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat terutama yang bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah di perairan pesisir, sebagai dampak dari pelaksanaan proyek-proyek sebagai program strategis pemerintah pusat di daerah tersebut. (Rls/BB)


Berita Terkini