Harga Kakao Jembrana Melejit, Petani Sumringah, Cengkeh Merosot
Rabu, 26 Juni 2024
Ket. Foto : Salah satu petani kakao di Desa Ekasari
Baliberkarya.com - Jembrana, Kabar gembira bagi petani kakao di Jembrana, harga jual kakao di wilayah ini naik hingga 3 kali lipat, mencapai Rp 150 ribu rupiah per kilogram. Kenaikan harga ini membuat para petani kakao bersorak sorai, berbanding terbalik dengan petani cengkeh yang harus menelan kekecewaan karena harga cengkeh basah terus merosot hingga Rp 34 ribu rupiah per kilogram, turun dari Rp 38 ribu rupiah sebelumnya.
Salah satu petani cengkeh di Desa Batuagung, Ketut Nastra, mengungkapkan kesedihannya atas penurunan harga cengkeh yang terus terjadi. "Harga cengkeh basah hari ini sudah tembus Rp 34 ribu rupiah per kilogram, padahal sebelumnya sempat Rp 38 ribu rupiah. Turunnya cepat sekali, belum sebulan harganya sudah turun," keluhnya. Rabu (26/6/2024).
Ia mengaku belum mengetahui pasti penyebab anjloknya harga cengkeh basah tersebut. "Saya tidak tahu apa penyebabnya. Memang fenomena seperti ini sudah biasa terjadi, saat mendekati panen harganya mahal, tapi saat panen harganya turun drastis. Saya tidak tahu sampai batas mana turunnya," imbuhnya.
Sementara itu, di sisi lain, Perbekel Desa Eka Sari, I Gede Puja, mengungkapkan rasa syukur atas melonjaknya harga kakao yang mencapai Rp 160 ribu rupiah per kilogram. "Saat ini harga sangat bagus. Di Ekasari, luas tanaman sekitar 400 hektar dengan 300 ribu pohon. Baru sekitar 200 ribu yang sudah berbuah, tapi belum banyak," jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh petani kakao di Desa Pulukan, Kecamatan Pekutatan, I Ketut Sukarta. Ia telah menanam kakao selama 20 tahun dan hampir seluruh petani di sana telah menerapkan fermentasi terhadap hasil kakao mereka sejak tahun 2010 dengan harapan mendapatkan harga yang lebih tinggi. "Di tahun ini harganya melejit dari sebelumnya berkisar Rp 40 ribu hingga Rp 60 ribu, kini mencapai Rp 150 ribu per kilogram. Harga tertinggi selama dua dekade," ungkapnya.
Menurut praktisi kakao Indonesia, Agung Widiastuti, ada beberapa faktor yang menyebabkan meroketnya harga kakao saat ini. Pertama, ketidakseimbangan supply dan demand di tingkat global. Kebutuhan pasar kakao cukup tinggi, namun produksinya menurun.
"Terutama di sejumlah negara produsen kakao tertinggi seperti Ghana dan Pantai Gading, mereka mengalami dampak perubahan iklim, kelangkaan pupuk, dan serangan virus," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kenaikan harga ini terjadi tidak hanya di Jembrana atau Bali, tetapi juga di seluruh Indonesia. Faktor global, ditambah penurunan produksi panen di Indonesia karena dampak El Nino tahun lalu, turut memengaruhi harga kakao. "Kakao yang menjadi komoditas ekspor juga sangat terdampak nilai tukar dollar dengan rupiah saat ini sehingga terdongkrak harga jualnya," katanya.
Agung berharap para petani kakao premium atau fermentasi di Jembrana tidak terlena dengan harga tinggi ini. Ia mengingatkan bahwa ini merupakan tantangan dan jangan sampai mereka lelah memproduksi biji kakao fermentasi. "Jangan sampai harga tinggi ini membuat fermentasi ditinggalkan. Tetap diperjuangkan dan semua lini mempertahankan hasil biji kakao," pungkasnya. (BB)