Ayo Selamatkan! Mulai Terancam, 'Eksistensi Subak' Perlu Dipertahankan dan Dilestarikan
Sabtu, 23 September 2017
Baliberkarya
Baliberkarya.com-Gianyar. Akibat gempuran pariwisata dan perkembangan jaman sehingga menimbulkan dampak alih fungsi lahan khususnya disektor pertanian yang merembet ke Subak atau sistem pengairan ciri khas sistem irigasi di Bali.
Nasib Subak di Bali sejak beberapa tahun belakangan ini secara perlahan mulai terancam. Selain makin berkurangnya lahan-lahan pertanian, jumlah petaninya juga makin sedikit dan yang menyedihkan minat generasi muda menjadi petani juga semakin rendah.
Melihat realita itu, eksistensi sistem Subak di Bali harus tetep dipertahankan dan dilestarikan. Mengingat, sistem Subak di Bali tidak hanya sebagai warisan budaya yang terdaftar sebagai badan warisan dunia Unesco sejak tahun 2012 sehingga hal ini tidak saja menjadi tanggung jawab masyarakat Bali untuk menjaga sistem pengairan subak ini, namun juga menjadi perhatian dan tanggungjawab dunia untuk menjaganya.
Berlatarbelakang dari kepedulian pelestarian Subak tersebut, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) bersama Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar bekerjasama membuka program sekolah magang lapangan di Bali dengan Fakultas Desain Universitas Kyoto, Jepang. Sekolah lapangan yang bernama Bali Internship Field School 2015 menyelesaikan kelompok ketiga dengan jumlah mahasiswa asing pascasarjana sebanyak empat orang.
"Menjadi petani tak ada kebanggaan serta tak ada pengakuan. Ini yang membuat nasib Subak ke depan suram karena ditinggal petani dan menipisnya lahan akibat alih fungsi lahan," ucap Victoria Abou Khalil, salah seorang mahasiswi Program Doctor Kyoto University, Jepang di Museum Subak Masceti Gianyar saat memberikan pemaparan terkait hasil sekolah lapangan tentang Subak yang dilakukan di Kabupaten Tabanan dan Gianyar.
Victoria asal Libanon ini bersama sejumlah rekannya di antaranya Yohei Kiyoyama (Jepang), Seongsu Park (Korea), dan Samar El Helou dari Libanon yang sama-sama menempuh Program Doctor di Kyoto University melakukan sekolah lapangan dalam rangka 3rd Bali Internship Field School for Subak (BIFSS) 2017 di Museum Subak Masceti Gianyar.
Kegiatan yang mengangkat tema “Subak Sustainable” Challenges and Strategis from Information to Emotion berlangsung selama lima hari dari tanggal 18-23 September 2019. Dalam kegiatan itu juga hadir dari kalangan pakar yakni Dr. Yohei Murakami dan Prof. Kyoko Kanki dari Kyoto University, Catrini Kubontubuh, Phd., candidat planner architect ITB, Prof. I Wayan Windia dan Dr. Gede Sedana, dimana keduanya merupakan pakar Subak dari Universitas Udayana.
Menurut Victoria, jumlah Subak juga menurun tidak terlepas dari tingginya biaya dalam kegiatan di Subak. Untuk itu, hadirnya Museum Subak diharapkan ke depan bisa menyelamatkan Subak serta petaninya.
"Museum subak selain menampilkan keberhasilan subak, juga tantangannya ke depan termasuk perjuangan petaninya," harap Victoria.
Pernyataan serupa juga diutarakan rekannya Seongsu Park dan Samar El Helou yang melihat tingginya tantangan dalam menyelamatkan Subak. Mereka berharap ke depan hadirnya Museum Subak bisa mempertahankan Subak itu sendiri dan meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk itu, Museum Subak juga harus menampilkan Bali secara luas, keindahan Subak dan masalah yang ada sehingga bisa mengundang aksi-aksi nyata untuk menyelamatkan Subak yang pada akhirnya akan membantu petani.
"Para mahasiswa tersebut mengatakan Subak bukan hanya sebuah irigasi, tapi ada berbagai kegiatan di dalamnya termasuk yang melibatkan istri petani. Subak adalah jantungnya Bali," ungkap Park.
Sementara, Ketua Bali Internship Field School 2015 yang juga Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Catrini Pratihari Kubontubuh menerangkan sekolah ini menjadi penting untuk saling bertukar informasi dan teknologi demi lestarinya sistem subak di Bali.
"Para mahasiswa ini terjun langsung ke sawah-sawah serta mempelajari sistem perairan Subak. Selanjutnya, mahasiswa yang berasal dari berbagai disiplin ilmu ini memberikan sumbang saran yang terbaik untuk keberlangsungan Subak," terang Catrini Pratihari Kubontubuh, usai acara Penutupan Sekolah Lapangan, di Museum Subak, Gianyar.
Dalam forum yang sama, masalah subak juga menjadi perhatian pakar Subak dari Unud yakni Prof. Windia yang melihat banyak sekali kegiatan upacara di subak.
"Ada 18 kali upacara dalam satu musim, mulai dari mengairi sawah hingga panen," jelas Prof. Windia.
Menurut Prof. Windia, Subak perlu didorong agar bisa ada value addednya, jadi tak melulu hanya urusan mabhakti dan gotong royong. Ke depan, menurut Prof Windia, petani harus berekonomi dan berteknologi agar pendapatannya meningkat.(BB).