Angkutan Online Tambah Kesembrautan Lalu Lintas dan Coreng Pariwisata Bali
Selasa, 16 Agustus 2016
Ilustrasi/Ist
Baliberkarya.com - Badung. Angkutan online baik GrabCar, Uber dan GoCar dikritisi dan ditentang banyak pihak di Bali. Selain ditentang transportasi lokal Bali, angkutan berbasis aplikasi itu juga ditentang tokoh adat maupun pelaku pariwisata Bali.
Salah satu pelaku pariwisata Kuta, Komang Alit Ardana menyatakan angkutan online Grab, Uber, dan GoCar itu sudah jelas-jelas sangat merugikan. Selain tidak berijin dan bayar pajak, jelas-jelas sangat merugikan taksi ataupun angkutan sewa yang berijin dan legal di Bali.
"Ini akan memunculkan kecemburuan sosial dikalangan usaha transpotasi, karena angkutan online ini juga sulit dikontrol operasionalnya. Kita di Kuta sudah tegas menolak keberadaan Grab, GoCar, dan Uber taxi tersebut, karena warga kita cukup banyak menggantungkan hidupnya di usaha transport," terangnya saat dihubungi awak media, Selasa (16/8/2016).
Menurut Pengurus Desa Adat Kuta itu, imbasnya bagi pariwisata sangat jelas, karena keberadaan angkutan online yang tidak jelas dan ilegal akan sulit dikontrol, sehingga memunculkan kesembrautan di dunia transportasi dan service terhadap wisatawan tidak memuaskan. Apalagi taksi online itu tanpa argo, ini akan mencoreng wajah pariwisata Bali.
"Kalo ada apa-apa atau kejadian siapa yang bertanggungjawab? tentunya mereka para wisatawan akan memberitakan yang tidak baik kepada dunia. Jadi saran kita, tutup operasional taxi online ini dan cabut aplikasi mereka yang disebar di media," terangnya.
Pemerintah juga diminta bisa tegas untuk melarang operasional angkutan online ilegal tersebut, baik Grab, Uber dan GoCar. Agar masyarakat di Bali, khususnya Kuta tidak bergejolak. Dalam hal angkutan online masyarakat Kuta sudah jelas-jelas menentang keberadaan taksi ataupun angkutan berbasis online itu.
"Sangat sulit kita, di desa adat mengidentifikasi keberadaan mereka. Kecuali ketangkap tangan langsung oleh masyarakat di lapangan pas mereka operasional. Sudah banyak kok, mereka taxi online yang di hakimi oleh masyarakat yang bergerak di transport pas sedang menunggu atau menjemput tamunya. Tentunya hal ini membuat situasi tidak kondusif bagi pariwisata di Kuta," tegasnya.
Desa Adat Kuta sebagai salah satu barometer pariwisata di Bali beralasan situasi ketidaknyamanan akibat transportasi online itu sangat meresahkan masyarakat Kuta. Terlebih lagi karena keberadaan mereka memotong pendapatan masyarakat dimana itu adalah priuk nasi masyarakat yang benar bekerja secara legal. Bahkan perusahaan dan para taksi yang legal pun banyak mengeluh.
"Mereka taxi berijin dan membayar pajak kepada pemerintah. Saat ini sedang berkompetisi dan bersaing untuk mencari penumpang di jalan sudah sulit, sekarang ditambah keberadaan taxi online ini, tentunya akan membuat mereka bersaing dengan tidak sehat," ujarnya lagi.
Baik pemerintah ataupun Organda diminta segera bersikap sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di jalanan, seperti main hakim sendiri. Apalagi akan membuat situasi yang tidak kondusif bagi pariwisata Bali kedepan yang tentunya rada aman dan nyaman tersebut menjadi terusik. Parahnya lagi dapat mencoreng citra pariwisata yang nota bene di Bali sangat tergantung di sektor ini.
"Sebaiknya tata dan kelola dengan baik taxi-taxi yang sudah ada ini ajalah. Bagaimana agar dari keberadaan yang ada ini dapat mengangkat citra pariwisata kita. Yang terpenting lagi, jangan mengeluarkan ijin taxi baru lagi. Karena keberadaan taxi saat ini sudah banyak, bahkan salah satu penyumbang kemacetan juga di jalanan. Tinggal kita disiplinkan aja yang sudah ada," katanya.
Dijelaskan, saat ini hotel-hotel di Bali masing-masing sudah memiliki armada taksi. Selain itu di jalanan sudah banyak taksi lain yang beroperasi juga, sehingga tinggal dikelola dan diatur keberadaanya agar disiplin dan merata operasionalnya.
"Ngapain lagi di tambah taxi on line? Apakah kita sudah kekurangan taxi di jalanan? Jujur saja di Desa Adat Kuta secara tegas menolak keberadaan taxi online tersebut. Warga kita yang bergerak di transport sudah sempat menghadap ke desa adat dan menyampaikan permasalahan ini," tandas salah satu pemilik hotel di Kuta itu.
"Sekarang yang terpenting action pemerintah dan organda menyikapi untuk menutup dan melarang keberadaan taxi online ini sebelum hukum jalanan terjadi di jalanan. Selain itu, agar tidak sesama pencari makan (mertha) saling berebut dan ribut sehingga mertha itu menjadi tidak baik. Mertha metembahang wisya, artinya mertha yang tidak baik jadinya. Jelas-jelas ajaran kita melarang hal ini," pungkasnya.(BB)