Transport Online Jadi Citra Buruk Keamanan dan Kenyamanan Pariwisata
Selasa, 16 Agustus 2016
Ilustrasi/Ist
Baliberkarya.com - Denpasar. Banyak yang mengakui publik transport atau angkutan umum di luar negeri selalu diutamakan oleh pemerintah dan masyarakatnya, seperti Singapura, Australia maupun Jepang.
Termasuk juga turis yang berwisata ke negara tersebut, karena mereka menyadari jika melakukaan traveling (perjalanan) lebih memilih sesuai buget, seperti dengan city tour publik transport. Bahkan, di negara maju yang mengandalkan pariwisata sebagai negara tujuan wisata sudah menyiapkan publik transport yang nyaman dan aman.
"Jika menjadi destinasi pariwisata yang maju, setiap turis dilakukan dengan sangat istimewa dan dapat informasi angkutan yang aman dan nyaman. Jadi turis harus dimanjakanlah dengan publik transport itu," ucap Pengamat dan Pelaku Pariwisata, IB "Lolec" Surakusuma saat ditemui awak media di Denpasar, Selasa (16/8/2016).
"Seharusnya Bali sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia harus berusaha mengembangkan publik transport seperti itu. Itu yang harus diperhatikan soal kemacetan di saat tertentu dan musim tertentu," imbuhnya.
Jadi sebenarnya, kata Lolec, Bali hanya keliatan sebagai destinasi yang maju dan mementingkan pariwisata. Seperti Kuta, Sanur dan Nusa Dua belum disediakan publik transport seperti itu. Menurutnya, harusnya lebih dipikirkan bisa diterapkan city tour seperti bus gratis yang dipersiapkan agar Bali selalu diinginkan untuk dikunjungi.
"Sesungguhnya kembali kebijakan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Sekarang ini kita tentunya sangat berharap pemerintah pembuat regulasi dan pelaku pariwisata harus bersinergi dalam artian tentunya pemerintah melihat unsur online bisa diterima masyarakat luas," ulasnya.
Ketua INNCA Bali itu menyoroti permasalahan soal angkutan online seperti GrabCar, Uber dan GoCar baginya mulai meresahkan, meskipun tidak berimbas langsung bagi dunia pariwisata. Mengingat, Bali sebuah keranjang yang didatangi berbagai bentuk usaha yang dipahami atau tidak oleh masyarakatnya. Seperti aplikasi angkutan berbasis online sebagai barang baru, tapi masalahnya bagaimana mendata perusahaan online itu.
"Dikhawatirkan yang menjadi kendala apakah bisa dipercaya dari faktor keselamatan dan kenyamanan bagi pariwisata. Dari sisi online ini juga akan terjadi benturan antara perusahaan yang legal yang didominasi offline dengan perusahaan online," jelasnya.
Lebih lanjut Lolec menegaskan jika peran pemerintah untuk memediasi karena gempuran online masyarakat gelagapan dan bisa menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, hal itu bisa menjadi batu sandungan kenyaman dan keamanan bagi pariwisata Bali.
Instansi terkait, sambung Lolec, juga harus melakukan evaluasi meskipun tidak bisa begitu mudah menyetop angkutan online. Baginya, masalahnya keamanan dan kenyamanan publik dan pariwisata harus dinomorsatukan dan yang offline juga harus juga diperhatikan.
"Jadinya ini yang menjadi PR pemerintah daerah agar segera diselesaikan, karena sangat rentan dengan pariwisata Bali," tegasnya.
Lolec mengaku imbas bagi pariwisata sekarang ini yang didominasi turis internasional belum memahami sarana angkutan online di destinasi, sehingga lebih memilih mencari selamat dengan travel agen dan paket-paket resmi.
"Bahkan turis malah menanyakan asuransinya. Makanya kalo online siapa yang menjamin? Karena turis asuransi mainded sehingga lebih mementingkan keselamatan. Apalagi bisnis resmi ajang angkutan di Bali sudah didominasi perusahaan offline. Seharusnya online hanya jadi produk teknologi baru untuk angkutan publik, namun tetap mengikuti aturan dengan identitas yang jelas," harapnya.
Sementara, untuk mengatasi angkutan online agar tidak meresahkan pariwisata harus distandarkan dulu soal ijin operasionalnya, termasuk uji kelayakannya dengan wajib keur. Karena di dunia pariwisata harus juga menggunakan plat kuning, sebagai indentitas angkutan umum yang aman dan nyaman bagi pariwisiata. Organisasi perusahaan online juga harus mengikuti regulasi pemerintah.
"Pemerintah yang menyediakan regulasi aplikasinya itu harus memenuhi persyaratan angkutan umum untuk operasional pariwisata di Bali. Pariwisata itu yang bisa menyaring mana bagus, mana yang jeles akan ada filter yang berhubungan dengan perusahaan yang berijin dan jelas operasionalnya," sebutnya.
Apalagi pariwisata di Bali sangat sensitif sehingga turis selalu mengantisipasi dan tidak mau percaya dengan aplikasi. Bahkan angkutan online itu di negara maju sudah dideteksi dan diuji oleh pemerintah. Namun disini setiap yang baru tiba-tiba masuk saja dulu, tidak mencari ijin sampai pemerintah mempelajari sehingga mereka mendapat untung yang tidak terduga hingga pemerintah membuat regulasi.
"Sebelum ada regulasi yang jelas dan tetap beroperasi apakah tidak mengganggu pariwisata? Karena angkutan online didominasi masyarakat lokal yang hanya jadi terobosan mencari keuntungan sesaat sebelum adanya regulasi. Otomatis seperti itu, karena pemerintah kedodoran dengan gaya lemot-lemot membuat patokan dan aturan seperti itu menjadi isu buruk bagi pariwisata," jelasnya.
Keterlambatan regulasi itu yang menjadi sumber masalah, padahal faktor keamanan dan kenyamanan moda transportasi yang harusnya dijual untuk pariwisata Bali kedepan.(BB).