Gubernur: Revitalisasi Teluk Benoa harus Disikapi secara Jernih

  04 April 2016 OPINI Denpasar

baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Berbeda dengan sebelumnya , ajang Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS) minggu lalu yang mempertemukan para pendukung dan penolak revitalisasi Teluk Benoa,  minggu ini tidak sedemikian seramai. 
 
Hal itu disayangkan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika yang berharap agar kedua belah kubu baik yang menyatakan pro dan menolak revitalisasi Teluk Benoa bisa bertemu kembali di podium ini, dan menyampaikan pendapatnya dengan pikiran yang jernih. “Saya harapkan, masyarakat bisa bertemu di sini, bicara dengan hati yang jernih, pakedek pakenyung, seperti orang Bali pada umumnya, hindari adu argumen yang keras, karena semakin keras kita bicara, semakin tidak ada yang mau dengar,” ujar Pastika saat berorasi di podium tersebut, Minggu (3/4/2016) di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar. 
 
Ditambahkannya, tujuannya menghadirkan podium ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat Bali untuk menyatakan pendapatnya. Menurutnya, semakin banyak yang memberikan pendapat, maka podium ini akan semakin bermutu dan makin tersaring mana pembicara bagus yang akan menjadi investasi Bali ke depan. “Stop bicara dengan emosional, karena tidak akan memberikan efek apa-apa,” tegas orang nomor satu di Bali ini.
 
Mengenai masukan agar revitalisasi Teluk Benoa dilakukan oleh pemerintah, tanpa ada campur tangan investor, Pastika sangat mengapresiasi. Namun, menurutnya kendala biaya masih menjadi faktor utama. 
 
“APBD kita saat ini 5,5 triliun, dari 1,5 triliun ketika saya baru menjabat gubernur di tahun 2008. Dan 20% dari total APBD harus dialokasikan untuk pendidikan dan itu amanat UU, 20% sisanya untuk gaji, 20% lagi untuk kesehatan, 10% untuk infrastruktur, 10% untuk sharing dana ke kabupaten kota. Dan sisa 20% untuk menggerakkan program Bali Mandara, seperti Simantri, bedah rumah, Gerbangsadu, beserta BKK dan hibah ke desa pekraman dan subak, itulah perputaran uang kita,” beber Pastika dengan gamblang. 
 
Untuk itu, mari kita bicarakan rencana ini dengan mengedepankan logika. Dan, mengenai penghentian wacana penghentian investasi di Bali, Pastika memilih untuk berpikir lebih jauh dan matang. “Stop investasi berarti stop pembangunan, stop infrastruktur, maka stop juga lapangan kerja sehingga pendapatan masyarakat juga berkurang, itu salah satu dampaknya, maka pikirkan sekali lagi,” imbuhnya. Apakah jadi atau tidak revitalisasi Teluk Benoa, menurutnya tidak masalah karena program ini murni milik Rakyat Bali. 
 
Panggung PB3AS juga  diwarnai dengan orasi dukungan terhadap rencana Teluk Benoa. Hal itu disuarakan oleh seperti Mangku Rata, I Nengah Wenten, Pak Ranten dan Made Mangku. Menurut mereka, reklamasi bisa memberikan dampak yang bagus terhadap ekosistem dan masyarakat Bali apabila dikelola dengan benar. 
 
Seperti yang diutarakan oleh Made Mangku. Pada kesempatan itu, ahli kelautan tersebut menjelaskan rencana tersebut dari segi ilmu pengetahuan. Menurutnya Reklamasi tidak akan menyebabkan peningkatan air laut, karena yang akan dibangun berupa gugusan pulau dengan perputaran air yang sudah diatur sedemikian rupa dari segi ilmu pengetahuan. “Jadi berbeda dengan reklamasi serangan, di Serangan itu hanya menambahkan daratan, dan tidak menghitung dengan cermat tentang perputaran arus laut,” jelasnya. 
 
Ditambahkannya, reklamasi bukan barang tabu lagi, sudah banyak negara melakukan, dan dampaknya bagus sepanjang dikelola dengan benar dan berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar juga. Mengenai tenaga kerja, Made Mangku mengharapkan pemerintah bisa memberikan pelatihan terlebih dahulu kepada calon tenaga kerja di sana, sehingga pekerja lokal Bali bisa menduduki tempat-tempat yang strategis. “Di sinilah perlu ketegasan pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja untuk masyarakat,” imbuhnya.
 
Sama halnya dengan Made Mangku, I Nengah Wenten juga mengharapkan revitalisasi bisa berjalan, karena bisa menyelamatkan ekosistem dan biota laut di sana. Mengenai kenaikan air laut, Wenten menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena faktor alam. Perubahan iklim yang saat ini menyebabkan gunung es mencair menjadi faktor utama, dan hal ini tidak hanya dialami Bali, namun seluruh kota pesisir di dunia. “Alasan itu yang menyebabkan banyak negara berlomba-loma mereklamasi wilayahnya, dengan tujuan untuk menghalau arus air laut juga,” bebernya.
 
Sementara itu Ketut Sukada, warga dari Tanjung Benoa sangat menyayangkan keributan yang terjadi akhir-akhir ini, baik dari kubu yang pro maupun yang kontra. Ketut Sukada mengkhawatirkan, jika masalah ini berlarut dan tidak ada titik temu, maka Teluk Benoa tidak akan mendapatkan penanganan. Padahal menurutnya, wilayah itu sekarang harus ditata. 
 
“Kita bisa lihat, Pulau Pudut semakin hari luasnya, semakin berkurang, itu menandakan bahwa perlu penanganan, dan saya memperkirakan 250 tahun lagi sudah tidak ada lagi Pulau Pudut,” jelasnya. Pembiaran Teluk Benoa menurutnya sangat bahaya karena sedimentasi lumpur bisa membahayakan mangrove dan biota laut di pesisir timurnya, sehingga dia mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan mitigasi tentang kelautan demi menyelamatkan ekosistem di sana.(*)