Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Urgensi Pembaruan Hukum Acara Pidana

Minggu, 02 Maret 2025

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

Ket poto: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan)

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan)

Baliberkarya.com - Belakangan ini, perhatian para insan hukum salah satunya tertuju pada agenda reformasi Hukum Acara Pidana melalui Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) atau yang sering disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rencana pembentukan RUU HAP ini memang mengikuti peta jalan pembaruan Hukum Pidana Nasional yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP itu sendiri banyak terjadi pengaturan yang baru dan penerapan prinsip-prinsip baru dalam Hukum Pidana, sehingga pembaruan KUHAP juga tentu perlu untuk dilakukan penyesuaian.

Agenda reformasi dan kodifikasi hukum pidana tersebut pada akhirnya mampu “melepaskan diri” dari pengaruh aturan kolonial Pemerintah Hindia Belanda. Prinsip-prinsip baru dalam hukum pidana tercermin dalam aturan KUHP baru tersebut, antara lain demokratisasi, dekolonisasi, modernisasi, harmonisasi dan yang terbaru tentunya adalah pergeseran makna keadilan. Prinsip keadilan retributif kini juga mengarah pada keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif. Artinya, hukum pidana kini tidak hanya digunakan untuk mengendalikan kejahatan atau pelanggaran pidana (crime control) namun juga sebagai jalan untuk merestorasi keadaan di masyarakat secara lebih adil.

Demikian pula apa yang sebenarnya juga telah terjadi pada Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengalami pembaruan pada tahun 1981 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada saat itu KUHAP 1981 dianggap sebagai karya agung yang menandai perubahan paradigma hukum acara pidana yang lebih mengarah pada penghormatan dan pelindungan HAM. Dengan demikian KUHAP lahir untuk menjawab tantangan zaman modern yang lebih terbuka dan modern. Sebelum lahirnya KUHAP, Indonesia mengenal sebuah instrumen hukum yang mencerminkan zaman kolonial (HIR). Pada saat itu, masyarakat ingin melakukan pembaharuan terhadap HIR dan ketentuan lainnya, tetapi tentu tidak mudah karena mengikuti perkembangan UU dan dinamika sosial masyarakat yang telah mendapat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, migrasi, dan lain sebagainya.

Meski begitu pada prakteknya KUHAP 1981 ini dirasa sudah tidak lagi dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern yang lebih mengarusutamakan pelindungan HAM atau hak konstitusional warga negara. Filosofi modern seperti keadilan restoratif tentu akan memberikan nuansa baru dalam hukum pidana.Dalam RUU KUHAP terdapat beberapa hal krusial yang menjadi perubahan dan akan menjadi bahan untuk dikaji lebih jauh antara lain:

  1. Penyesuaian dengan perkembangan hukum di masyarakat. Berlakunya UU KUHP (berlaku di tahun 2026) dan peraturan perundang-undangan lain terkait seperti UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU KPK, atau undang-undang terkait lainnya; melahirkan berbagai perkembangan dalam asas dan filosofi. Penyesuaian ini juga dilakukan terhadap konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Kekerasan, Hak Politik dan Sosial (ICCPR), Anti Korupsi (UNCAC), atau berbagai prinsip hukum umum yang telah diakui dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional.
  2. Modernisasi Acara Pidana. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi perkembangan dalam membuat sistem yang lebih cepat, mudah, dan terukur. Modernisasi juga dilakukan terhadap filosofi hukum modern yang lebih mengutamakamn pelindungan HAM dan kepatuhan terhadap prosedur atau peraturan perundang-undangan dan hukum (Due process of law).
  3. Penyesuaian terhadap sistem pemidanaan (sesuai dengan KUHP). KUHAP perlu untuk menyesuikan dengan perkembangan sistem pemidanaan dalam KUHP seperti Pidana Mati Bersyarat, Pidana Kerja Sosial, Pidana Pengawasan, Pidana Adat maupun segala Tindakan yang telah diatur dalam KUHP.
  4. Penerapan mekanisme Keadilan Restoratif atau penyelesaian di luar pengadian.

Keadilan restoratif telah diamanatkan dalam UU KUHP, namun hingga saat ini belum memiliki aturan pendukung dan pelaksanaanya. Berbagai kajian akademis dan ilmiah mendukung pernyataan bahwa RJ membutuhkan instrumen kebijakan pelaksana untuk menjamin implementasi, transparansi, dan akuntabilitasnya.

Dalam KUHAP, RJ dapat diatur lebih lanjut terkait prinsip, mekanisme, tahapan, dan batasannya yang disesuaikan dengan KUHP atau aturan pidana lainnya. Selama ini RJ dipahami sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar persidangan. Namun lebih dari itu, RJ lebih merupakan filosofi. Oleh sebab itu, dalam KUHAP ini RJ harus menjadi prinsip utama bersama Keadilan Rehabilitatif dan Restitutif atau prinsip keadilan yang tidak hanya mengutamakan retributif atau pengendalian kejahatan. RJ harus dijadikan salah satu prinsip utama untuk penanggulangan kejahatan.
KUHAP dapat dijadikan salah satu cara untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh sistem penegakan hukum dan peradilan pidana selama ini. Permasalahan seperti penggunaan pidana penjara daripada mediasi atau rehabilitasi (misalnya dalam kasus pengguna TP Narkotika) sebagai pengarusutamaan pemidanaan dapat diselesaikan melalui KUHAP.

KUHAP diharapkan memberikan jalan bagi seluruh tahapan di sistem peradilan pidana untuk melakukan mekanisme RJ. Hal ini untuk mengurangi beban perkara dan proses persidangan yang berpotensi terlalu berbelit dan memakan waktu lama. Namun begitu, RJ tentu tidak menghilangkan pidananya. Oleh sebab itu, KUHAP nantinya dapat menentukan penyelesaian di luar peradilan, namun tentu tetap tercatat sebagai tindak pidana (Criminal Record) bersamaan dengan mekanisme penetapannya.

  1. Keseimbangan dalam sistem acara pidana (Inquisitorial menuju Adversarial). Penguatan hak dan pelindungan terhadap tersangka, saksi, dan korban. Asas Praduga tak Bersalah diperluas lebih jauh dengan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk membela kepentingan hukumnya. Dalam RUU KUHAP ini juga terdapat penguatan hak perempuan, penyandang disabilitas, lanjut usia, atau kaum rentan yang berhadapan dengan hukum.
  2. Penguatan peran advokat. KUHAP diharapkan dapat menguatkan peran advokat dalam memberikan pendampingan hukum terhadap seseorang di seluruh tahapan pidana. Advokat maupun bantuan hukum seyogyanya harus diberikan pada setiap tahap peradilan pidana dan secara fundamental menjadi hak dari seorang warga negara, sesuai dengan hak konstitusionalnya.

Selama ini, banyak pihak meragukan proses hukum, terutama dari pemanggilan terhadap saksi, pelaporan, hingga penyidikan, yang seringkali dilakukan tanpa pendampingan. Hal ini bahkan menyebabkan seseorang justru berhadapan dengan hukum. Celah ini seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kita seringkali mendengar bahwa proses hukum seperti pemeriksaan saksi dan korban dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak seseorang di muka hukum, yang tidak jarang malah merugikan kepentingan hukum pihak tertentu. Oleh sebab itu, KUHAP perlu untuk mengatur hak dan kewajiban pendampingan hukum oleh Advokat. Peran advokat tidak boleh dikurangi dalam proses hukum untuk memastikan hak seseorang dan kepentingannya tidak terreduksi.

  1. Pengaturan terkait dengan Upaya Paksa. RUU KUHAP diharapkan dapat memberi kepastian hukum terhadap hak seseorang namun juga secara limitatif diatur agar tidak memberi beban kepada badan peradilan.
    1. Penahanan
      1. Perlunya limitasi waktu penahanan. Dalam KUHAP ini diharapkan akan memberikan pembatasan terhadap lama penahanan seiring dengan kemajuan di bidang perhubungan dan teknologi. KUHAP secara prinsip seharusnya mengatur bahwa seseorang yang berhadapan dengan hukum berhak mendapat proses hukum yang fair dan cepat atau tidak berbelit. Seorang penyidik dan penuntut umum dituntut harus sangat yakin (dengan segala alat bukti yang cukup dan meyakinkan) ketika menentukan bahwa seorang tersangka/terdakwa memang benar telah layak untuk dilanjutkan proses pidananya.
      2. Demikian pula, penahanan terhadap seseorang juga harus didasari dengan faktor-faktor yang diyakini urgen atau bahwa seseorang memang perlu dilakukan penahanan. KUHAP saat ini seharusnya dapat mengatur bahwa seseorang tidak harus dilakukan penahanan kecuali dalam keadaan tertentu dimana penyidik atau penuntut umum meyakini bahwa orang tersebut berpotensi melakukan tindak pidana atau melakukan hal-hal yang melawan hukum berdasarkan tolok ukur yang jelas.
      3. Dalam hal ini, KUHAP harus dapat sejauh mungkin mengatur tentang kriteria penahanan terhadap seseorang secara subyektif atau mengedepankan obyektivitas atau alternatif penjaminan.
        Ketentuan tentang penahanan ini memang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman yang lebih manusiawi atau humanis dan menghindari sejauh mungkin hal-hal yang menderitakan. Apalagi saat ini di berbagai lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, termasuk tahanan di berbagai kantor polisi/kejaksaan mengalami over-populasi atau ketidaklayakan dari sisi jumlah penghuni.
      4. KUHAP harus dapat menjadi penanda modernisasi sistem hukum yang tidak menambah beban permasalahan atau residu sistem peradilan atau penegakan hukum. 
      5. Penangguhan penahanan dapat menjadi salah satu jalur pendekatan utama untuk menghindari penahanan yang berlebihan. Jaminan harta misalnya dapat diterapkan terutama terhadap pelaku dugaan tindak pidana ekonomi. KUHAP harus dapat mengatur pula akuntabilitasnya.
    1. Penyitaan dan Penggeledahan. Upaya paksa penyitaan dan penggeledahan ini perlu diatur secara jelas dan tegas serta limitatif. Upaya paksa penyitaan dan penggeledahan di lapangan seringkali menimbulkan permasalahan. beberapa penggeledahan dan penyitaan yang dilaksanakan oleh tim seringkali dilakukan terhadap barang yang tidak menjadi obyek sita (atau dilakukan penggeledahan). Hal ini melanggar hak asasi seseorang, karena harta atau benda yang seharusnya tidak berhubungan dengan dugaan tindak pidana dilakukan sita oleh penegak hukum. Pada prakteknya seringkali menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi tersangka/terdakwa. Penyalahgunaan ini tentu bertentangan dengan akuntabilitas dan merugikan kepentingan hukumnya. Pada kasus korupsi misalnya, seringkali penggeledahan yang berakhir pada penyitaan dilakukan terhadap barang-barang milik tersangka, yang selanjutnya dapat menggiring atau mempengaruhi opini publik. KUHAP harus tegas melindungi HAM seseorang sampai diputus bersalah dan berkekuatan hukum tetap, maka penyitaan perlu diatur secara ketat. KUHAP misalnya perlu mengatur barang yang diajukan sita sebelum dilakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang milik tersangka/terdakwa.
    2. Penangkapan. Sebagaimana limitasi terkait dengan penahanan, maka pada prinsipnya penangkapan juga tidak boleh sampai berlarut-larut. Penetapan status hukum seseorang harus dilakukan segera dan memungkinkan untuk dilakukan berbagai pengajuan hak termasuk pelindungan saksi dan korban, pelindungan hukum, maupun mekanisme RJ.
  2. Pentingnya pengaturan tentang Upaya Hukum. KUHAP perlu menjamin hak seseorang untuk mengajukan upaya hukum secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan, tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan atau kewenangan yang tidak sah serta dijamin dengan sistem pemeriksaan yang terbuka, sah, adil, profesional, dan akuntabel. Namun begitu pelaksanaannya perlu diatur secara tegas dan tidak boleh sembarangan dapat diajukan hingga berkali-kali. Secara seimbang pengajuan upaya hukum harus dapat juga dibatasi dengan undang-undang sehingga tidak boleh menyebabkan beban perkara yang juga menyebabkan kurangnya obyektivitas pemeriksaan itu sendiri.
  3. Hal lain yang masih perlu diatur dalam KUHAP. Selama ini terdapat beberapa hal dalma praktek yang masih memunculkan permasalahan atau perdebatan di lapangan yang selalu bersinggungan dengan kekosongan atau ketidakjelasan. Beberapa hal tersebut antara lain:
    1. Penyadapan

Pengaturan mengenai penyadapan ini memang masih akan membutuhkan UU khusus yang mengatur tentang penyadapan sesuai dengan Putusan MK. Namun begitu, KUHAP dapat menegaskan pula kedudukan bukti Penyadapan sebagai barang bukti atau alat bukti yang sah sesuai dengan tugas dan kewenangan. Pada prinsipnya, penggunaan penyadapan tetap harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana prinsip pelindungan HAM dan Due Process of Law. Penyadapan dalam praktek masih tidak dimungkinkan untuk dijadikan alat bukti kecuali sebagai pendukung untuk mendapatkan alat bukti. Oleh sebab itu pengaturannya harus diatur secara komprehensif. Dalam penggunaannya ke depan, alat bukti penyadapan termasuk alat bukti elektronik terkait lainnya harus diatur di dalam KUHAP sehingga tidak menimbulkan perdebatan mengenai kedudukannya.

    1. Pengelolaan barang sita dan rampasan yang saat ini dilakukan oleh Penuntut Umum dalam rangka memudahkan eksekusi maupun pengembaliannya terhadap terdakwa (dalam hal diputus demikian). Hal ini harus dipastikan untuk dapat menjamin seluruh akuntabilitas publik terimplementasi.
    2. Salah satu perkembangan yang terjadi di lapangan, juga terkait dengan permasalahan penurunan nilai yang dapat merugikan negara atau para pihak. Dalam hal ini KUHAP dapat menyediakan pula mekanisme yang jelas (seperti putusan sela atau penetapan) untuk dapat menjamin pemeliharaan mandiri atau melalui penjualan terhadap aset, dalam hal tindak pidana korupsi atau tindak pidana yang terkait dengan ekonomi dan memiliki korban dengan kriteria yang sangat jelas.
    3. Pengawasan terhadap upaya paksa (biro pengawasan penyidikan). Perkembangan selanjutnya adalah mengenai pentingnya pengaturan di KUHAP terkait dengan pengawasan selama penyidikan maupun penuntutan. Hal ini karena penyidikan selama ini dianggap seringkali terjadi penyalahgunaan/ kesewenangan atau juga kesalahan prosedur yang berakibat pada pelanggaran etik. Pengawasan ini sangat penting mengingat penerapan prinsip due process of law yang mencerminkan akuntabilitas dan profesionalisme. Untuk mendorong pencegahan dan pengawasan terhadap penyalahgunaan kewenangan memang membutuhkan sistem pengawasan melekat dan pertanggungjawaban yang terukur.
    4. Pengaturan mengenai plea bargaining. Pada perkembangan hukum acara pidana, banyak pihak mengusulkan adanya sistem plea bargaining yang sebenarnya banyak digunakan pula pada negara yang menganut sistem hukum anglo saxon. Sistem plea bargaining dinilai dapat mempercepat proses hukum dan menjadi alasan meringankan bagi pelaku yang mengakui kesalahan dan berupaya untuk memulihkan keadaan. Plea bargaining menjadi jalan pula bagi perkara tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.
  1. Konsep Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Konsep Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan telah ada dalam draf RUU KUHAP sebelumnya. Konsep Hakim Komisaris bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan mempermudah proses pidana yang seringkali terhambat dalam berbagai tahapan proses pidana yang dilakukan oleh aparat yang berbeda instansi, misalnya penyidik (Polri) dan penuntut umum (Kejaksaan) atau dengan pengadilan. Konsep ini sebenarnya timbul dari sistem hukum Eropa Kontinental yang bertujuan menemukan kebenaran sejati melalui kewenangan untuk pengawasan pelaksanaan segala upaya paksa. Konsep ini sebenarnya memberikan optimalisasi pada cabang yudikatif untuk melakukan kontrol terhadap aparat penegak hukum.

Namun begitu, konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini mendapatkan reaksi pro dan kontra karena dianggap dapat memberikan kontrol berlebihan dari pihak peradilan yang kini seringkali dipengaruhi oleh mafia peradilan. Pengaturan ini memerlukan kajian yang lebih dalam atau lebih jauh tentang penerapannya, sehingga tidak kemudian menjadi kontraproduktif atau penyalahgunaan kewenangan.

Dari berbagai hal tersebut diatas, KUHAP tentu diharapkan dapat mencerminkan pelaksanaan KUHP yang lebih restoratif, rehabilitatif, restitutif, dan mencerminkan keadilan yang susbtantif dan proporsional. Selama ini KUHAP 1981 dianggap sebagai karya agung namun sudah tidak lagi dapat menjamin pelindungan hak seseorang di muka hukum seiring dengan perkembangan hukum yang terjadi. Jaminan pelindungan hak seseorang dari penyalahgunaan ataupun ekses sistem peradilan (yang berlebihan) harus dapat diatur secara tegas sehingga dapat mendorong profesionalisme dan akuntabilitas sistem penegakan hukum dan peradilan pidana. Kini saatnya reformasi hukum pidana nasional dapat dijalankan secara penuh dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. KUHP dan KUHAP yang komprehensif akan dapat melindungi seluruh kepentingan bangsa dan negara.


Berita Terkini