Lahirkan Insan Pancasilais, Gus Adhi dan BPIP Jaring Aspirasi Masyarakat Bali Sebagai Penjaga Jiwa Bangsa
Minggu, 29 September 2024
Foto: Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Ana k Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (AMP) S.H.,M.Kn., yang akrab disapa Gus Adhi bersama BPIP menggelar Penjaringan Aspirasi Masyarakat Dalam Rangka Penyusunan Renstra Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Tahun 2025-2029 di Kota Denpasar Tahun 2024, pada Minggu 29 September 2024.
Baliberkarya.com-Denpasar. Diakhir masa jabatannya sebagai Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (AMP) S.H.,M.Kn. yang akrab disapa Gus Adhi kembali membumikan nilai-nilai luhur Pancasila. Wakil rakyat yang dikenal rendah hati itu juga terus mengingatkan agar Pancasila tidak hanya menjadi logos atau pengetahuan tapi juga etos atau tercermin dan terimplementasi dalam tindakan, dalam kehidupan keseharian berbangsa dan bernegara.
Pancasila adalah jiwa besar banga Indonesia yang bukan hanya teori tapi harus diimplementasikan secara konsisten. Hal ini disampaikan Gus Adhi ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Penjaringan Aspirasi Masyarakat bersama DPR RI di Wilayah Bali Dalam Rangka Penyusunan Renstra Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Tahun 2025-2029 di Kota Denpasar Tahun 2024, pada Minggu 29 September 2024 di Hotel Aston Denpasar.
Acara dibuka olah Leo Efriansa, S.STP, M.Si., selaku Plt. Direktur Penyelenggaraan Program Paskibraka BPIP RI dengan menghadirkan tiga orang narasumber panel yakni Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (AMP) S.H.,M.Kn., Akademisi Universitas Dwijendra Putu Ronny Angga Mahendra, S.Pd., M.Pd., dan Akademisi Universitas Udayana Dr. AA Gede Duwira Hadi Santosa, SH., M.Hum.
Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (AMP) S.H.,M.Kn., yang akrab Gus Adhi ini kembali mengingatkan bahwa Pancasila itu adalah jiwa besarnya bangsa Indonesia dan oleh leluhur kita sudah digambarkan melalui cerita-cerita pewayangan seperti dari cerita Ramayana maupun kisah Panca Pandawa di Mahabarata.
“Permasalahannya saat ini adalah Pancasila ini masih dalam tataran logos, lumpuh. Yang harus kita benahi adalah bagaimana sekarang menggeser dari logos ini menjadi etos, menjadi gerak implementasinya dalam perilaku. Sudahkan kita perilaku kita sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?,” kata politisi Golkar yang juga salah satu inisiator lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali dan berhasil mengawal penuh hadirnya payung hukum untuk Provinsi Bali ini hingga diakuinya subak dan desa adat di Undang-Undang Provinsi Bali ini.
Gus Adhi mengingatkan sangat bahaya jika nilai-nilai luhur Pancasila tidak dijalankan dalam keseharian. Degradasi moral anak bangsa yang terjadi saat ini juga karena imbas dari mulai dilupakan dan diabaikannya Pancasila sebagai falsafah negara.
“Kita harus terus berupaya nyata bagaimana Pancasila ini terbangun, tergali dan mendarah daging di dalam kehidupan kita. Itu yang terpenting karena tanpa Pancasila kita akan menjadi negara yang rapuh,” pesan wakil rakyat berhati mulia, gemar berbagi dan dikenal dengan spirit perjuangan “Amanah, Merakyat, Peduli” (AMP) dan “Kita Tidak Sedarah Tapi Kita Searah" tersebut.
Anggota Fraksi Golkar DPR RI itu juga menegaskan bangsa dan negara yang kuat adalah yang mampu memegang teguh falsafah negara. Sebaliknya suatu bangsa dan negara bisa hancur berkeping-keping, terpecah belah jika tidak mampu memegang teguh falsafah negara. Karenanya Indonesia jika ingin tetap eksis terus sebagai bangsa dan negara yang kuat, besar dan menjadi negara maju maka harus tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia.
"Irak, Libya, Yaman, Syria hancur karena tidak kuat pegang falsafah negaranya. Maka Indonesia harus kuat pegang falsafah negaranya yakni Pancasila. Jangan lagi Pancasila seperti diberikan ke pasar bebas, bisa diadakan bisa tidak," katanya mengingatkan.
Gus Adhi terus mendorong pemerintah agar kembali menghadirkannya pendidikan Pancasila di semu jenjang pendidikan dari PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga Perguruan Tinggi. Gus Adhi kembali mengingatkan Pancasila jangan hanya menjadi lips service belaka. Dia pun mengajak kita semua merenungkan diri kita hari ini apakah sudahkan kita menjadi insan Pancasilais.
“Kita bersyukur saat ini Pancasila sudah kembali hadir di bangku sekolah. Tapi tidak cukup berhenti sampai disitu. Perjuangan kita di dalam merubah tatanan hidup bangsa ini harus mendorong pemerintah bagaimana menjadikan Pancasila sebagai tolak ukur kelulusan seorang siswa. Mudah-mudahan anggota DPR RI yang terpilih nanti tetap mendorong ini, karena semakin jelas gambaran terlihat gambaran degradasi moral generasi penerus bangs aini begitu Pancasila jauh dari kehidupan kita,” sebutnya.
“Saya harapkan Bapak Ibu sekalian menggali literasi Pancasila, menggali ide dan gagasannya, apa yang harus dilakukan bangsa ini sehingga jiwa Pancasila ini bisa terlahir dari ujung kaki sampai ujung rambut, dari pusat sampai daerah sampai ke desa-desa,” tambah politisi Golkar asal Jero Kawan Kerobokan ini.
Sementara, Leo Efriansa, S.STP, M.Si., selaku Plt. Direktur Penyelenggaraan Program Paskibraka BPIP RI mengungkapkan di tahun depan penjaringan aspirasi masyarakat ini dilakukan berbagai metode diantaranya survei kepuasan masyarakat melalui media sosial kemudian penjaringan aspirasi dengan mengambil sampel lokasi berupa perwakilan dari masing masing pulau di Indonesia. Provinsi Bali merupakan salah satu wilayah yang dijadikan lokus dalam penjaringan aspirasi masyarakat bersama Anggota DPR RI.
Kota Denpasar menjadi salah satu wilayah yang menjadi lokus kegiatan pembinaan ideologi Pancasila dan tingginya perhatian pemerintah daerah setempat dalam pembinaan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan serta Provinsi Bali merupakan daerah destinasi wisata utama domestik dan mancanegara, sehingga dalam keseharian interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat sangat beragam.
Kegiatan penjaringan aspirasi menjadi momen yang tepat dalam memberikan apresiasi kepada seluruh mitra yang telah mendukung terwujudnya kesuksesan penyelenggaraan pembinaan ideologi Pancasila di Provinsi Bali. “Kemitraan yang kokoh dan berkelanjutan diharapkan dapat menjadi landasan dalam memperkuat implementasi nilai nilai Pancasila sebagai panduan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Leo Efriansa.
Narasumber lainnya Akademisi Universitas Udayana Dr. AA Gede Duwira Hadi Santosa, SH., M.Hum., membawakan materi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam Perspektif Mahabharata Antara Cakra dengan Gada”. Akademisi yang akrab disapa Gung Santos ini menekankan bahwa keadilan sosial adalah keadilan di mana aset aset ekonomi itu bisa diakses oleh seluruh masyarakat dan bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Persoalannya adalah bagaimana kalau kemudian komposisi dan struktur masyarakat tidak adil? Ada ketimpangan yang jauh antara yang kaya dengan miskin. Oleh karena itulah maka keadilan diskriminasi ini menjadi pilihan yang harus diambil oleh penguasa, oleh pemerintah oleh siapapun itu, kalau ingin melakukan mendapatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar tujuan dari pada sila kelima itu bisa tercapai,” katanya.
Gung Santos menegaskan bahwa jika bangsa ini mau mau menerapkan Pancasila terutama sila kelima itu harus ada keberanian dari penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat keadilan, diskriminatif. Dijelaskan bahwa keadilan diskriminatif yang berpihak pada kaum lemah. Namun dalam menerapkan keadilan diskriminatif, ada risiko besar yang harus dihadapi pemimpin atau pengusaha, maupun pemerintah.
Dia memberikan ilustrasi dengan mencontohkan kisah Mahabarata dimana Krisna menerapkan keadilan diskriminatif namun harus menangggung risiko besar. “Krisna yang menerapkan keadilan diskriminatif itu mempunyai resiko besar dikutuk oleh Ibu Ratu Gandari sehingga menyebabkan Kerajaan Dwaraka hancur,” kata Gung Santos.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Presiden keempat Republik Indonesia Gus Gur juga disebut berkomitmen menerapkan keadilan restoratif namun malah upaya itu malah berkonsekensi menjatuhkan kepemimpinannya.
“Gus Dur itu berani untuk menerapkan keadilan diskriminatif, tetapi beliau malah dijatuhkan oleh mayoritas. Karena kalau mengambil keadilan diskriminatif, risikonya adalah kita melawan mayoritas, kita melawan kekuatan besar, ada kekuatan ekonomi besar,” ungkapnya.
Itulah tantangan para pemimpin kita, terutama sekarang ini dalam kontestasi pilkada. Isu terbaru ini apakah calon pemimpin yang akan kita pilih ini berani untuk mengambil risiko untuk tidak populis agar tujuan keadilan sosial itu bisa diwujudkan?,” tanya Gung Santos untuk direnungkan bersama.
Sedangkan Akademisi Universitas Dwijendra Putu Ronny Angga Mahendra, S.Pd., M.Pd., memaparkan materi Pancasila Sebagai Landasan Etika Dalam Pariwisata. Menurutnya Pancasila adalah dasar negara Indonesia, nilai- nilainya juga sangat relevan dalam membangun etika pariwisata.
“Pancasila dapat menjadi pedoman bagi semua pelaku pariwisata, baik pemerintah, swastamaupun masyarakat, untuk menjalankan kegiatan pariwisata dengan bertanggung jawab dan bermartabat,” tegas Ronny.
Dalam konteks pariwisata, penerapan nilai-nilai Pancasila dapat berfungsi sebagai filter atau penyaring. Sebab pariwisata mendatangkan banyak orang luar ke Bali baik wisatawan domestik maupun mancanegara dengan berbagai karakter dan latar belakangnya.
Kalau wisatawan yang datang ke Bali ini tidak disaring semua diterima maka akan mendatangkan dampak negatif seperti yang kerap terjadi belakangan ini. Contohnya banyak wisatawan asing berulah di Bali, mengambil peluang kerja warga lokal, melakukan aksi kriminalitas hingga melecehkan simbol-simbol kesucian agama Hindu di Bali.
Ronny lantas memberikan pemahaman penerapan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila dalam pariwisata. Misalnya prinsip Ketuhanan dalam Pancasila mengamanatkan agar semua kegiatan pariwisata dilakukan dengan penuh rasa syulur dan menghormati nilai-nilai agama dan kepercayaan. Ini berarti menjaga kelestarian alam, memperlakukan wisatawan dengan baik, dan mempromosikan toleransi antar umat beragama.
Prinsip Kemanusiaan dalam Pancasila menekankan pentingnya menghargai dan menghormati setiap manusia tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti memberikan pelayanan yang ramah dan adil kepada semua wisatawan, serta melarang segala bentuk diskriminasi.
Prinsip Persatuan dalam Pancasila menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti mempromosikan nilai-nilai budaya lokal dan membangun rasa persatuan antar wisatawan dan masyarakat setempat.
“Prinsip Kerakyatan dalam Pancasila menekankan pentingnya kedaulatan rakyat. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti melibatkan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan pariwisata, baik sebagai pengelola, pekerja, maupun sebagai destinasi wisata,” terang Ronny.
Prinsip Keadilan dalam Pancasila menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti memastikan bahwa manfaat pariwisata dapat dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat setempat.
Tantangan utama dalam menerapkan Pancasila di sektor pariwisata adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila, serta adanya praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila seperti eksploitasi, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan. Tantangan lainnya adalah kelemahan pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor pariwisata.
“Ke depan perencanaan pengembangan dan pengelolaan pariwisata harus menerapkan nilai-nilai Pancasila dimana pariwisata harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata dan harus memperjuangkan keadilan sosial bagi semua,” tutup Ronny.(BB).