Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Waduh! Gara-gara Berani Dukung Mantra-Kerta, Pecalang Ini Dipecat

Senin, 12 Maret 2018

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

istimewa/grafis nett

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Badung. Seorang pecalang bernama Made Sutama berasal dari Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dipecat dari posisinya sebagai pecalang karena mendukung dan lebih memilih pasangan calon (paslon) Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra-I Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta) ketimbang paslon lain sebagai pilihan politiknya.
 
 
Kepada media, Sutama menjelaskan, dirinya diajak rapat pecalang di tingkat banjar setempat pada Jumat (9/3/2018). Dalam rapat tersebut, dirinya ditanya oleh pengurus lainnya dengan pertanyaan, 'apakah masih mau satu komando atau tidak'. 
 
 
Satu komando yang dimaksud adalah memilih satu jalur atau memilih Koster-Ace. 
 
"Kalau masih mau satu komando, maka kita ajak. Kalau berbeda ya, berhenti dulu," ujar Sutama, Senin (12/3/2018), menirukan pimpinan pecalang dalam rapat tersebut.
 
Sutama mengaku dipecat dari keanggotaan pecalang karena dianggap memilih Mantra-Kerta. Alasannya, Banjar Angasari Desa Ungasan sudah memiliki kontrak politik dengan pasangan tertentu terkait Bansos dan Hibah. 
 
 
Selain itu, Sutama masih bekerja sebagai sopir pribadi anggota Fraksi PDIP DPRD Bali Wayan Disel Astawa dan memilih untuk memenangkan Mantra-Kerta. Sutama dinilai lebih mengikuti majikannya dengan memilih Mantra-Kerta dan ini akan menghambat Bansos dan hibah yang sudah dijanjikan oleh Pemkab Badung. 
 
 
Masyarakat dijanjikan Bansos dan Hibah akan cair bila mampu memenangkan Koster-Ace di banjarnya masing-masing. Sebaliknya, bila kalah maka hibah dan Bansos seperti rehap pura, perbaikan wantilan, bale banjar dan sebagai tidak akan terlaksana.
 
Sementara Disel Astawa saat dikonfirmasi awak media menyatakan benar jika Sutama dipecat sebagai pecalang. Disel Astawa mengaku, sebagai majikan dirinya tidak pernah berdiskusi soal politik dan apalagi memaksa sopirnya itu untuk memilih pilihan dirinya. Urusan politik itu berbeda dengan urusan pekerjaan. Untuk pilihan politik, dirinya tidak ikut campur sekalipun berbeda dalam pilihan. 
 
 
"Saya tanya Sutama. Apakah Sutama memilih Mantra-Kerta hanya karena saya sebagai majikannya memilih Mantra-Kerta. Kalau itu yang terjadi saya akan minta dia untuk mengikuti arahanya di banjarnya. Sutama mengaku jika dirinya memilih Mantra-Kerta karena pilihannya sendiri dan tidak ada paksaan dari siapa pun. Dan kalau pun Sutama memilih pasangan lain, saya tidak masalah, dan tidak mungkin saya pecat Sutama sebagai sopir. Pekerjaan itu berbeda dengan pilihan politik. Dan inilah demokrasi yang sebenarnya," ujar Disel, Senin (11/3/2018).
 
Menurut Disel, tidak ada hubungan sama sekali antara keanggotaan sebagai pecalang dengan pilihan politik. 
 
"Pecalang itu benar-benar pengabdian total kepada desa, kepada banjarnya secara adat. Apa hubungan dengan memecat orang sebagai pecalang dengan pilihan politik. Seharusnya, siapa pun menjadi gubernur, pengabdian warga Bali kepada adat dan budaya tidak boleh diutak atik," ujarnya. 
 
Janji politik melalui Bansos dan Hibah sudah merusak tatanan budaya dan masyarakat di Bali di tingkat yang paling bawah. Ia menilai, dalam Pilgub kali ini tekanan dan intimidasi sungguh luar biasa di tingkat desa dan banjar.
 
Disel menyebutkan, untuk di Kabupaten Badung, seluruh desa di wilayahnya dijanjikan hibah dan bansos dengan syarat harus memenangkan Koster-Ace. Bila tidak, maka desa yang bersangkutan tidak akan dicairkan. 
 
 
 
"Ini pemaksaan luar biasa. Masyarakat ditekan, diintimidasi. Padahal hibah atau Bansos itu bukan uang pribadi sang bupati, tetapi uang rakyat, dari APBD. Kewajiban pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur masyarakat seperi pura, wantilan, jalan desa dan sebagainya," ujar mantan calon wakil bupati yang berpasangan dengan Prof.Wayan Wita itu. 
 
Kontrak politik seperti ini, menurut Disel, merusak tatanan hidup sosial dan budaya masyarakat Bali. Perpecahan di tingkat bawah tinggi, demokrasi dan pendidikan politik tidak berjalan. 
 
"Adat dan budaya Bali jangan ditarik ke politik. Kalau pun menang, gubernurnya milik rakyat, bukan milik kelompok tertentu," ujarnya. (BB)


Berita Terkini