Catat Ini! Prajuru Dilarang Atasnamakan Desa Pakraman untuk Berpolitik Praktis
Sabtu, 17 Februari 2018
istimewa
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Denpasar. Pelanggaran terkait alat peraga kampanye yang dijadwalkan bersih terhitung sejak Kamis (15/2/2018) pukul 00.00 wita sangat mencolok. Fakta di lapangan menunjukkan bale banjar, yakni organisasi kemasyarakat dengan lingkungan terkecil di Bali menjadi yang paling masif melakukan pelanggaran.
Buktinya, baliho-baliho berukuran besar hingga, Jumat (16/2/2018) masih berdiri tegak di bale banjar, khususnya di Badung dan Denpasar. Baliho tersebut menampilkan sosok paslon I Wayan Koster- Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Koster-Ace) dan paslon Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra – I Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta). Baliho terbanyak milik paslon nomor urut 1.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bali, I Ketut Rudia mengultimatum agar baliho-baliho tersebut segera dibersihkan.
“Di mana pun itu dipasang. Kalau tidak di zona yang ditetapkan oleh KPU, berarti harus ditertibkan,” ucapnya, Jumat (16/2) kemarin.
Aturan terkait alat peraga kampanye dimaksud diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Desa Pakraman Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha mendukung pernyataan Rudia terkait pembersihan alat-alat peraga kampanye tersebut. Ketua MUDP sekaligus menyoroti netralitas prajuru atau perangkat desa pakraman menyongsong Pilkada Serentak 2018.
“MUDP telah memberikan arahan kepada para bendesa, majelis madya, dan majelis alit desa pakraman bagaimana menyikap kondisi Bali menjelang Pilkada Serentak 2018, baik Pilgub maupun Pilbup di Klungklung dan Gianyar, ucap Jero Gede Suwena Putus Upadesha. Imbuhnya, prajuru desa pakraman wajib menjalankan peran berpedoman pada awig-awig (peraturan red).
“Termasuk di dalamnya apa yang tidak boleh dilakukan oleh prajuru desa pakraman dalam Pilkada Serentak 2018. Jangan sampai ada yang mengatasnamakan prajuru desa pakraman untuk kepentingan politik. Apalagi sampai ada bendera parpol tertentu dikibarkan di pura, di banjar, atau di desa yang menyalahi aturan,” jelas Jero Suwena.
Ditambahkan purnawirawan Polri tersebut masyarakat Bali belum siap untuk berbeda dalam hal pilihan politik. Oleh sebab itu, MUDP mengambil peran mengingatkan masyarakat dalam rangka menghindari konflik atau gesekan.
“Ajaran agama menegaskan bahwa kita semua bersaudara. Ini tidak sekadar diucapkan, tapi bagaimana kita semua mengimplementasikan,” tegasnya sembari mengimbau masyarakat desa pakraman untuk tidak terlibat money politic. Simbol-simbol agama dan adat juga diharapkan tidak digunakan untuk kepentingan partai politik.
“Desa pakraman kan independen, sosial religius. Jangan gara-gara pilihan berbeda kita jadi bermusuhan,” tegasnya.
Tentang bantuan sosial (bansos) masuk ke desa pakraman untuk kepentingan politik, Jero Gede Suwena Putus Upadesha menyebut hal tersebut sempat dibahas dalam Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, 15 November 2017 silam.
“Prajuru desa pakraman diharapkan jangan sampai berpolitik praktis. Prajuru desa pakraman kan rata-rata orang lingsir (tua atau dituakan red). Harusnya bisa mengambil langkah yang sesuai dengan aturan,” pungkasnya.
Bila terjadi pelanggaran, dirinya menyebut hal tersebut akan dibicarakan lebih lanjut sebab tidak ada larangan tegas mengenai hal tersebut; masih berupa peringatan.
“Lebih baik dan bermartabat bila prajuru desa pakraman tidak berpolitik dan menggiring masyarakat memilih paslon tertentu,” tandasnya sembari mengaku menolak keras paslon peserta Pilkada Serentak berkampanye di areal suci pura.
“Tidak boleh sama sekali. Bila terjadi harus ada langkah-langkah tegas dari prajuru desa,” tutupnya. (BB)