Begini Ternyata 'Metode Analisis' Ungkap Data Perkembangan Gunung Agung
Kamis, 19 Oktober 2017
PVMBG
Baliberkarya.com-Karangasem. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Devy Kamil Syahbana memaparkan, banyak metode yang digunakan untuk menganalisis data Gunung Agung.
Tak hanya sekadar jumlah kegempaan, namun juga keseluruhan aktivitas gunung setinggi 3.142 mdpl itu sebelum akhirnya mengeluarkan rekomendasi.
"Banyak metode yang kita pakai, banyak hal yang kita analisis. Kalau hanya melihat jumlah kegempaan terlalu dangkal. Yang kita perlu lihat itu manifestasi dalam juga manifestasi permukaan kawah Gunung Agung," kata Devy di Pos Pengamatan Gunung Api Agung di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Kamis 19 Oktober 2017.
"Gasnya seperti apa. Apakah dia pelepasannya banyak, atau justru dia tertutup. Itu kita harus perhatikan terus. Ketinggian asap itu kita monitor terus, itu juga salah satu data. Itu juga kita olah. Tapi bagaimana kita mengolahnya, banyak metode yang kita pakai juga. Kita lihat dari sisi-sisi yang lain supaya kita mengeluarkan rekomendasi yang terbaik, sambil kita juga berfikir kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi," ungkap Devy.
Menurut Devy, jika dari hasil analisis tersebut Gunung Agung memiliki tendensi lebih kuat letusannya ketimbang yang telah diprediksi oleh PVMBG, maka akan mengubah rekomendasi yang telah dikeluarkan lembaganya.
"Kalau ternyata tendensinya lemah, kita juga bisa ubah. Kita bisa perluas atau persempit area-nya. Semua terekam dari paramenter-parameter pengukuran kita," ulasnya.
Lebih jauh Devy menjelaskan, secara metode ada beberapa alat ukur yang digunakan PVMBG untuk menganalisa aktivitas gunung yang pernah meletus dahsyat dengan skala V VEI pada tahun 1963 itu.
"Kita secara metode ada seismik, deformasi, ada metode geo-kimia, ada juga dari penginderaan jauh satelit. Dari data-data itu dimodelkan. Dari modelling itu keluar rekomendasi kawasan rawan bencana, perkiraan zona bahaya yang baru. Itu kita evaluasi terus," jelas Devy.
Pria penyandang gelar Doktoral dari Brussel, Belgia itu menyebut aktivitas kegempaan terendah terjadi pada dua hari lalu. Saat itu, gunung yang terletak di Kabupaten Karangasem itu mengalami kegempaan sekitar 500-an kali.
"Itu terendah yang pernah kita rekam selama masa kritis ini. Tapi itu baru satu hari. Kita melihat tren tidak mungkin hanya dua poin saja, hari kemarin dan sebelumnya. Kita hrus melihat beberapa waktu yang panjang," jelas bapak satu anak itu.
"Nanti kalau misalnya tren-nya menurun atau meningkat, baru kita bandingkan dengan pengukuran kita yang lain. Salah satunya GPS. GPS itu kan salah satu yang paling sensitif dalam perubahan tubuh gunung. Ada juga tield," tambah Devy.
Pria asal Bandung, Jawa Barat menegaskan bahwa ada dua tield untuk mengukur kemiringan tubuh gunung api, dalam hal ini Gunung Agung. Jika miring ke atas, maka hal itu mengindikasikan terjadinya penggembungan. Sebaliknya, jika kemiringan ke arah bawah, maka hal itu mengindikasikan pengempisan tubuh gunung.
"Ada banyak parameter yang harus kita jadikan pertimbangan, supaya kita bisa memberikan rekomendasi yang terbaik untuk masyarakat. Kita juga selalu berusaha memberikan yang terbaik. Jadi, tidak pernah ada motivasi lain selain untuk keselamatan kita semua. Itu saja yang jadi pegangan kita," tegas Devy mengakhiri.(BB).