Pengelola Kafe Delob Berawah 'Buka-Bukaan' Tuding Perbekel 'Pungli Bertahun-tahun'
Rabu, 19 April 2017
Baliberkarya.com/ist
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Jembrana. Sejumlah pemilik dan pengelola kafe atau warung di kawasan pesisir Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Jembrana berkumpul di salah satu rumah makan yang ada di desa setempat.
Mereka berkumpul guna memprotes pernyataan Perbekel Delod Berawah Made Rentana di salah satu media yang menuding keberadaan kafe di Delod Berawah sering menimbulkan masalah sehingga masyarakat sudah mulai jenuh dengan keberadaan kafe-kafe tersebut.
Bahkan yang sangat membuat para pemilik dan pengelola kafe berang, pernyataan Rentana yang menuding pemilik atau pengelola kafe tidak pernah memberikan kontribusi ke desa.
Terkait pernyataan Rentana tersebut, sejumlah pemilik atau pengelola kafe yang diwakili oleh Agung Hartono dan Komang Yudiwartono meradang dan mulai buka-bukaan terkait perlakukan Rentana terhadap pengelola atau pemilik kafe yang ada di desa tersebut.
Bahkan, mereka menuding selama ini Rentana sebagai Perbekel Delod Berawah telah melakukan pungli terhadap mereka selama bertahun-tahun.
"Kami sangat tidak terima dengan pernyataan perbekel itu. Masak dia bilang kami tidak pernah memberikan kontribusi ke desa. Tiap bulan kami selalu dipungutin, bukti pungutan ada," tegas Yudi Wartono yang dibenarkan oleh Agung Hartono, pemilik kafe Gula-gula.
Sambil menunjukan bukti punggutan, Yudi Wartono mengatakan, tiap bulannya ada dana yang masuk ke Desa Dinas Delod Berawah dan besarnya bervariasi, tergantung hasil penjualan bir.
Menurutnya, teknis pungutan tersebut memang dilakukan oleh Desa Pakraman Delod Berawah yang didasari oleh surat kesepakatan bersama. Diamana pungutan tersebut meliputi, iuran pengelola/pemilik kafe masing-masing Rp 350 ribu per bulan, iuran masing-masing waitris/karyawan kafe untuk keamanan Rp 20 ribu per bulan, uang kebersihan masing-masing kafe sebesar Rp 100 ribu per bulan.
Setelah dana punggutan tersebut terkumpul di Desa Pakraman, kemudian dilakukan pembagian dengan perhitungan pembagian 45 persen untuk tim kawasan wisata, 55 persen sisanya kemudian dibagi rata kepada Desa Pakraman Delod Berawah dan Desa Dinas Delod Berawah.
"Dengan kenyataan ini, masak kami tidak pernah memberikan kontribusi dan perbulannya dana yang masuk ke desa itu sangat besar. Paling minim satu setengah juta rupiah tiap bulannya ke desa dinas maupun desa adat," ujar Yudi sambil menunjukan bukti pungutan.
Menurut Yudi dan Agung Hartono, punggutan tersebut biasa dikatakan pungli lantaran punggutan itu tidak ada dasar hukumnya atau tidak ada Perdes maupun Perda. Namun yang dipakai dasar punggutan adalah surat kesepakatan bersama yang dibuat secara sepihak oleh pihak desa adat dan desa dinas.
"Punggutan yang tidak ada dasar hukumnya, itu jelas namanya pungli," imbuh Yudi yang dibenarkan sejumlah pengusaha lainnya.
Disamping itu, dalam satu kesempatan rapat yang dihadiri oleh para pemucuk dan pengelola kafe, Perbekel Delod Berawah sempat menyampaikan, pungutan-punggutan tersebut ada diantarannya kegunaannya untuk dana taktis atau uang keamanan.
Sedangkan untuk dana keamanan menurut Yudi yang juga sebagai Pembina tim kawasan wisata dan juga sebagai Pamucuk (Baga Pawongan) diterima kepada Pecalang rutin tiap bulannya.
"Jadi jika dibilang keberadaan kafe-kafe sebagai sumber keributan, dimana tanggungjawab pecalang. Jangan hanya tidur karena sudah menikmati hasil. Lagi pula coba cek di Polsek Mendoyo atau di Polres Jembrana, berapa ada laporan kasus keributan di kafe-kafe," tegas Agung Hartono.
Selain itu, yang membuat para pengelola atau pemilik kafe berang adalah kebijakan pihak desa yang memaksakan kehendak harus menjual Bir Angker untuk mencapai target kerjasama antara pihak desa dengan distributor Angker yakni 14 ribu krat dengan konvensi untuk desa Rp 300 juta.
Sedangkan Bir Angker tersebut kurang diminati oleh penggunjung dan terpaksa pengelola kafe juga menjual Bir Bintang karena lebih laku. Namun kenyataan ini disikapi secara arogan oleh pihak desa dan perbekel mengancam akan menutup kafe-kafe yang bandel menjual Bir Bintang.
"Jangan kami diancam-ancam, kami pengusaha bebas menjual produk. Lagi pula kesepakatan dengan distributor Angker kami tidak dilibatkan. Ayolah kita bicara baik-baik. Sekarang bukan jamannya main ancam," kata Gung Hartono.
Yudi Wartono menambahkan, ada keganjilan dalam kontrak kerjasama antara pihak desa dan pihak distributor Angker. Dimana dalam kontrak kerjasama yang kedua disebutkan target 14 ribu krat selama setahun dengan nilai konvensasi untuk desa Rp 300 juta.
Sedangkan perjanjian kerjasama pertama dengan distributor Bir Bintang sebelum digantikan oleh Angker, pihak desa mendapatkan konvensisasi sama yakni Rp 300 juta, tapi targetnya hanya 7000 krat.
"Ini kok digantikan Angker konvensasinya sama tiga ratus juta rupiah. Sedangkan targetnya dua kali lipat dari perjanjian pertama. Ini juga sering ditanyakan pamucuk, pihak desa tidak bisa menjawab. Ada apa ini," tutup Yudi.
Terkait hal tersebut, para pengelola/pemilik kafe meminta pihak terkait menindak lanjuti permasalahan tersebut sehingga tidak menjadi polemik yang berkepanjangan. (BB).