Dijerat Kasus Korupsi Baru, Mantan Bupati Winasa Ajukan Praperadilan
Senin, 24 Oktober 2016
Baliberkarya
IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
Baliberkarya.com-Jembrana. Setelah divonis tiga tahun dan enam bulan penjara dalam kasus korupsi pemberian beasiswa kepada mahasiswa Stikes dan Sitna tahun 2009-2010 lalu, mantan Bupati Jembrana dua periode I Gede Winasa kembali di jerat dengan kasus korupsi lainnya.
Kasus korupsi yang menjeratnya kali ini adalah kasus perjalanan dinas tahun 2009-2010 yang merugikan keuangan negara hingga Rp. 800 juta. Namun, Winasa bersama kuasa hukumnya, Simon Nahak Cs, mengajukan keberatan atas penetapan tersangka/terdakwa atas dirinya dalam kasus tersebut.
Winasa mengajukan gugatan praperadilan. Ia minta segera dibebaskan dan kejaksaan diminta membayar uang gantirugi Rp. 100 juta. Hal tersebut terungkap dalam sidang prapeladilan perdana yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Negara, Senin (24/10/2016).
Hakim tunggal Hasanduin sempat menunda sidang selama lima menit untuk berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan terkait kasus ini. Namun ia akhirnya kembali membuka sidang dan menyatakan sidang praperadilan ini dilanjutkan keesokan harinya setelah menerima gugatan Winasa dan kuasa hukumnya.
Mengajukan 10 poin dalam gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Negara, Gede Winasa mengatakan penetapan tersangka atau terdakwa atas dirinya cacat hukum. Meski gugatan tidak dibacakan, namun kuasa hukumnya Simon Nahak membeberkan penetapan tersangka atas diri Winasa yang dinilai cacat hukum.
Simon Nahak dalam gugatannya mengatakan, dalam daftar isi berkas perkara tindak pidana korupsi atas nama I Gede Winasa dari Kejaksaan Negeri Jembrana tahun 2016, tercantum laporan polisi. Namun dalam berkas, sama sekali tidak ditemukan bukti laporan polisi tersebut.
"Ini mustahil karena pemohon selama ini tidak pernah diperiksa pihak kepolisian, baik selaku penyelidik maupun penyidik. Sehingga berkas laporan polisi itu adalah tidak sah," ujar Simon Nahak.
Lanjut Simon Nahak, pemohon hingga dihadirkan sebagai terdakwa berdasarkan registrasi perkara nomor : No. 28/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Dps tidak pernah menerima surat panggilan sebagai tersangka. Padahal ini sudah diatur dalam Pasal 338 KUHAP. Sehingga termohon terbukti melanggar landasan penegakkan kepastian hukum bagi orang yang dipanggil.
Masalah lain yang mendasari gugatan praperadilan ini, pemohon sama sekali tidak pernah diberitahu dan tidak ada surat penetapan pemohon sebagai tersangka. Bahkan, selama pemeriksaan, pemohon tidak pernah didampingi penasihat hukum.
Meski dalam daftar isi berkas perkara tertulis surat kuasa dari penasihat hukum yang ditunjuk termohon. Namun secara defacto, pemohon tidak merasa menandantangani surat kuasa. Kenyataannya hingga pemohon diajukan ke sidang pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar, tidak pernah didampingi penasihat hukum.
"Selama proses perkara hingga pemohon diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi, barang bukti yang diajukan bukan asli, melainkan hanya berupa foto copy. Terhadap bukti yang bukan asli atau tidak ditemukan aslinya, harus dikesampingkan," tegas Simon Nahak yang mendapat kuasa bersama I Kadek Agus Mudita dan I Wayan Gede Mardika.
Alasan lain, pemohon selama proses perkara berjalan tidak pernah diberikan kesempatan mengajukan saksi meringankan sebagai mana diamanatkan dalam pasal 116 ayat 4 KUHAP. Itu sebabnya, penetapan pemohon sebagai tersangka hingga terdakwa tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Apalagi dalam proses penahanan, pemohon tidak pernah diberitahu kapan ditahan berdasarkan pasal 95 ayat 2 KUHAP. Karena alasan tindakan atau perlakuan tanpa alasan berdasarkan undang-undang, maka pemohon merasa dirugikan.
"Pemohon meminta Hakim Pengadilan Negeri Negara yang memeriksa dan mengadili permohonan ini, agar memerintahkan termohon membayar uang ganti rugi kepada pemohon sebesar Rp. 100 juta. Apalagi, klien kami Gede Winasa secara tiba-tiba dihadirkan sebagai terdakwa pada Rabu, 12 Oktober 2016 untuk disidangkan sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Denpasar," katanya.
Tindakan jaksa ini membuat Winasa sangat terkejut dan sangat keberatan. Karena pemohon tidak pernah merasa diberitahu, tidak pernah menandatangani atau menerima surat apa pun yang ditetapkan oleh termohon. Baik berupa perintah penangkapan dan penahanan maupun surat penetapan sebagai tersangka.
Hal mana yang dalam berkas perkara tindak pidana korupsi atas I Gede Winasa sama sekali tidak ditemukan. Selain itu, pemohon juga keberatan terhadap Surat Perintah Penyidikan (SPDP) Nomor : PRINT-02B/P.1.16/Fd.I/06/2015 yang dikeluarkan Kejari Jembrana, Anton Delianto pada tanggal 18 Juni 2015 lalu.
"Karena termohon hanya menggunakan surat ini untuk langsung menghadirkan pelapor sebagai tersangka, tanpa melalui proses administrasi peradilan pidana yang sah. Oleh sebab itu, mohon hakim menyatakan Surat Perintah Penyidikan itu tidak sah. Karena termohon tidak pernah menerbitkan surat perintah atau penetapan pemohon sebagai tersangka," ungkapnya
Pihaknya memohon kepada hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan Praperadilan ini agar memerintahkan termohon membebaskan atau mengeluarkan pemohon dari tahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Negara. Karena termohon terbukti melakukan penahanan yang tidak sah sehingga melanggar pasal 21 ayat 2 KUHAP.
"Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan. Atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan," terang Simon.
Berdasarkan alasan tersebut, pemohon minta keputusan sebagai berikut. Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Penangkapan dan Penahanan serta Penetapan Status Tersangka yang dilakukan termohon tidak sah. Karena melanggar pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP. Juga melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Majelis hakim diminta memerintahkan termohon segera membebaskan pemohon.
"Kami juga memohon kepada hakim untuk memerintahkan termohon membayar uang gantirugi sebesar Rp. 100 juta serta membebankan biaya Praperadilan kepada negara. Atau kami mohon hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya," pinta Simon.
Hakim Hasanudin lalu menunda sidang praperadilan hingga Selasa, 25 Oktober 2016. Sidang ini digelar untuk mendengar jawaban jaksa (termohon), replik pemohon, duplik termohon dan pemeriksaan saksi dan pengajuan bukti surat. Kedua pihak akan mengakukan kesimpulan pada Kamis, 27 Oktober 2016 sebelum mendengar putusan hakim dalam sidang berikutnya.
Terlapor Kejari Jembrana, Anton Delianto yang diwakili Kasi Pidana Khusus, Suhadi mengatakan pihaknya segera mengajukan jawaban atas gugatan praperadilan tersebut. Namun menurut dia, hampir semua poin gugatan sudah masuk dalam materi perkara sehingga tidak terlalu masalah untuk ditanggapi.(BB).
Berita Terkini
Berita Terkini
Kapolda Bali: Festival Imlek Tunjukkan Toleransi di Bali
25 Januari 2025
Bocah 6 Tahun Hanyut di Sungai Badung, Ditemukan Meninggal Dunia
25 Januari 2025
Kasanga Fest Kembali Digelar, Jaring 16 Ogoh-Ogoh Terbaik
24 Januari 2025
Swiss-Belhotel International Properti di Bali Sambut Kemakmuran
24 Januari 2025