Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Sektor Pariwisata Dinilai Industri Masa Depan. Benarkah?

Selasa, 13 September 2016

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Nasional. Menteri Pariwisata Arief Yahya menyebut saat ini di era abad ke-21 telah memasuki era Creative Industri, atau Creative Economy, atau bahasa gaulnya ekonomi kreatif. Pariwisata masuk dalam kategori industry kreatif.
 
Alvin Toffler sebenarnya sudah memprediksi, di akhir gelombang III itu ada era Industri Rekreasi (Hospitality, Recreation, Entertainmen). Ke depan, industri pariwisata yang didukung oleh industri kreatif yang sudah memiliki commercial value, akan menjadi primadona, ungkap Arief Yahya, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, kemarin.
 
Menpar mengatakan, sudah membaca buku Gelombang Ketiga atau The Third Wave-nya Alvin Toffler, yang menyebut Gelombang Peradaban Manusia dibagi tiga. Gelombang I, Era Agruculture antara 800 SM sampai 1.500 M, era pertanian, perkebunan dan teknologi pertanian. 
 
Gelombang II, Era Manufacture (1.5001970), masyarakat industri, lahirnya pabrik-pabrik, lahirnya imperialism dan kolonialisme. Gelombang III, Era Teknologi Informasi (1970-2000).
 
Menpar menceritakan kegelisahan Presiden Joko Widodo setelah menjalani kunjungan kerja (kunker) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan ASEAN ke Tiongkok dan Laos, lalu. Presiden pun 9 September 2016 mengumpulkan para menteri untuk membahas hasil kunkernya itu. Presiden Jokowi ingin Indonesia segera menemukan core economy, atau core business-nya buat Negara.
 
Apa keunggulan terkuat Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Industri apa yang bisa bersaing dan memenangi pertarungan di era global saat ini? Industri apa yang harus didukung oleh semua lini dan akan menjadi andalan Indonesia di masa depan? Dengan memiliki core business itu, konsentrasi presiden pun tidak terlalu melebar, bisa lebih focus untuk menggerakkan ekonnomi public.
 
Data perolehan devisa Indonesia menurut lapangan usaha, jenis komoditas Minyak dan Gas Bumi cenderung turun drastic. Pada 2013 menghasilkan US$32,6 miliar. Tahun 2014 turun menjadi US$30,3 miliar. Dan 2015 turun lagi drastis, US$18,9 miliar. Pertama, harga minyak dunia juga terjun bebas, dari US$100 per barel, menjadi US$60, turun lagi US$50, dan terakhir US$36. Maka sudah bisa ditebak, penyebabnya adalah harga jual jatuh, dan target lifting sulit dikejar, ungkap Arief Yahya.
 
Begitu pun komoditas Batu Bara, atau Coal. Tahun 2013 masih di angka US$24,5 miliar, tahun 2014 turun menjadi US$ 20,8 miliar. Tahun 2015, makin drastic, tinggal US$16,3 miliar saja. Begitu pun Minyak Kelapa Sawit, dari US$15,8 miliar di 2013, sempat naik di US$17 miliar, lalu turun lagi di 2015 pada posisi angka US$15 miliar. Hanya Pariwisata yang naik, dari US$10 miliar di 2013, lalu naik US$11 miliar di 2014, dan naik lagi US$12,6 miliar di 2015. Cenderung naik, karena industri pariwisata itu sustainable, ungkap Menpar.
 
Masih ada komoditas Top 10 lain, yang semuanya turun. Sebut saja, karet olahan, pakaian jadi, alat listrik, makanan olahan, tekstil, kertas dan barang dari kertas, kayu olahan dan bahan kiia. Performance-nya, semua sedang lesu dan turun. Lagi-lagi Pariwisata yang paling memberi harapan untuk masa depan negeri ini. Karena itu tidak salah, jika menempatkan Pariwisata sebagai core business buat negeri ini, kata Arief Yahya.
 
Pariwisata sebagai penyumbang PDB, Devisa dan Lapangan Kerja yang paling mudah dan murah. Soal PDB, Pariwisata menyumbangkan 10% PDB nasional, dengan nominal tertinggi di ASEAN. PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8% dengan trend naik sampai 6,9%, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan. Devisa pariwisata US$ 1 Juta, menghasilkan PDB US$ 1,7 Juta atau 170%, tertinggi dibanding industri lainnya, kata dia.
 
Soal devisa, pariwisata sudah nomor 4 penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3% dibandingkan industri lainnya. Pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata tertinggi, yaitu 13%, dibandingkan industri minyak gas bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit yang pertumbuhannya negatif. Biaya marketing yang diperlukan hanya 2% dari proyeksi devisa yang dihasilkan, ungkap Arief Yahya.
 
Soal ketenaga kerjaan, pariwisata menyumbangkan 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau sebesar 8,4% secara nasional dan menempati urutan ke-4 dari seluruh sektor industri. Dalam penciptaan lapangan kerja, sektor pariwisata tumbuh 30% dalam waktu 5 tahun. Pariwisata pencipta lapangan kerja termurah yaitu dengan US$5.000/satu pekerjaaan, dibanding rata-rata industri lainnya sebesar US$100.000/satu pekerjaan.
 
Pada 2015, dibandingkan Singapura dan Malaysia, dua negara terdekat, pertumbuhan tourism Indonesia naik lebih besar. Malaysia turun 15,7 persen. Singapura naik 0,9%, asumsikan 1 persen saja. Indonesia sangat pede dengan 10,3% kenaikan, menjadi 10,4 juta wisman. Itu menunjukkan, performance kita tidak terlalu buruk, growth dan suasana industrinya, sangat bergairah, sangat agresif dan terus bertumbuh, ungkapnya.(BB/inilah).


Berita Terkini