Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

JL. Patih Nambi XII No.5, Desa Ubung Kaja, Denpasar Utara

Call:081353114888

redaksi@baliberkarya.com

Ini Sebenarnya Makna Tradisi Nampah Dari Kaca Mata Budayawan

Minggu, 04 September 2016

Baliberkarya.com - Suara Rakyat Bali Membangun

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar. Nampah atau menyembelih hewan seperti babi, ayam, bebek, penyu dan lainnya merupakan bagian tradisi atau budaya masyarakat Bali, dimana kegiatan ini terutama terkait erat dengan hari raya perayaan Galungan dan Kuningan atau hari kemenangan Dharma (kebajikan/kebaikan).
 
Dr Ir I Gusti Ngurah Nitya Santhiarsa MT selaku budayawan dan dosen Universitas Udayana Denpasar menyatakan bahwa sehari sebelum hari raya Galungan dan Kuningan dinamakan hari Penampahan, teristimewa pada hari Penampahan Galungan, dimana-mana banyak hewan terutama babi dan ayam disembelih yang nantinya digunakan sebagai Yadnya atau kurban suci melengkapi sarana banten atau upakara menyambut hari Galungan. 
 
Gusti Ngurah Nitya menjelaskan jika penyertaan hewan kurban memang sering dilakukan dalam tradisi Hindu di Bali, disertai dengan harapan agar roh hewan yang dikorbankan mendapat anugrah dari Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Kasih seperti dapat reinkarnasi atau lahir kembali ke dunia menjadi mahluk yang lebih tinggi derajadnya.
 
Adapun makna dari Penampahan, kata pria yang 20 tahun jadi penulis artikel Hindu itu bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang yaitu pertama dari segi ritual dimana adanya ritual atau upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan dimana makna dari proses ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan mana yang salah.
 
"Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang patut dan mana yang tidak patut. Sehingga dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma atau yang tidak baik," ujar Gusti Ngurah Nitya saat ditemui di Denpasar, Minggu 4 September 2016.
 
Mantan Wakil Ketua The Hindu Center atau pusat kajian Hindu periode 2004-2012 itu mengungkapkan bahwa penyembelihan babi dan ayam itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka bertengkar (rajasika) seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti babi (tamasika).
 
"Disamping itu, korban suci atau Yadnya merupakan salah satu kewajiban umat Hindu kepada Tuhan, karena manusia hidup berutang kehidupan kepada Beliau Sang Pencipta, maka sebagai tanda syukur kepada Beliau maka umat manusia wajib melakukan kurban suci termasuk menyembelih hewan pada hari tertentu," ungkapnya.
 
Gusti Ngurah Nitya melanjutkan makna kedua dari segi sosial bahwa kegiatan Nampah ternyata memiliki dimensi kepedulian terhadap sesama, maksudnya sisa persembahan atau kurban bisa kita nikmati sebagai Prasadam atau sisa persembahan atau surudan yang sudah diberkati orang suci dengan diberi mantram yang memberikan pengutan Kesradhaan kepada kita, ditambah lagi apa yang kita miliki, sebagian dibagikan kepada saudara dan kerabat bahkan kepada siapa saja yang membutuhkan makanan atau daging kurban. 
 
"Sikap atau tradisi berbagi atau dalam bahaya Bali disebut Ngedum merupakan sikap komunal yang terpuji dan patut dipelihara dari waktu ke wakty karena sangat berdampak positif bagi peningkatan kerukunan inter dan antar umat beragama," jelas budayawan penulis ratusan artikel tentang budaya Bali dan agama Hindu itu.
 
Makna ketiga dari Nampah, sambung Gusti Ngurah Nitya, juga dapat ditinjau dari segi kepentingan hewan kurban sendiri, selain diatas telah disebutkan sebagai upaya penyupatan menuju kepada kehidupan mendatang yang lebih mulia.(BB).


Berita Terkini