8 Fakta Penyebab Kebangkrutan LPD, Golkar Bali Berikan 9 Rekomendasi Agar LPD Sehat dan Desa Adat di Bali Makin Kuat

  20 Agustus 2021 POLITIK Denpasar

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan aset Bali dan satu-satunya lembaga ekonomi desa adat di Indonesia bahkan di dunia yang masih bertahan mengemban multifungsi sebagai lembaga sosial kultural, ekonomi dan religius. Untuk itu, diperlukan pengeloalaan LPD yang sehat dan profesional mampu menguatkan eksistensi desa adat di Bali.

Namun sayang, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali tidak sedikit yang menghadapi persoalan mulai dari pengelolaan yang tidak profesional, sejumlah penyimpangan hingga berujung ada LPD yang bangkrut atau kolaps dan ada juga LPD yang menghadapi permasalahan hukum seperti digugat nasabahnya.

Berdasarkan data Pansus LPD DPRD Provinsi Bali menunjukkan bahwa dari total 1.433 LPD yang ada di Bali teryata tidak semuanya berkembang dengan baik. Bahkan tercatat sebanyak 158 LPD atau 11,03 persen LPD di Bali justru dinyatakan bangkrut dan sudah tidak beroperasi lagi.

Dari jumlah tersebut, LPD yang bangkrut paling banyak terdapat di Kabupaten Tabanan yakni mencapai 54 LPD. Disusul di Kabupaten Gianyar sebanyak 31 LPD, Buleleng 25 LPD, Karangasem 24 LPD, Badung dan Bangli masing-masing 8 LPD, Klungkung 4 LPD dan Jembrana I LPD. Sementara di Kota Denpasar nihil atau tidak ada yang dinyatakan bangkrut.

Melihat kenyataan itu, diperlukan keseriusan untuk memajukan dan menguatkan LPD secara menyeluruh baik dari aspek regulasi, kelembagaan, dan keuangan. Salah satu pintu masuknya adalah dengan mendorong revisi terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksaan Perda Nomor 3 Tahun 2017 Tentang LPD termasuk juga awig-awig dan pararem yang ada di masing-masing desa adat.

Untuk mewujudkan hal itu, dilaksanakan webinar dengan topik, "Pemajuan LPD dari Aspek Regulasi, Kelembagaan, dan Keuangan" yang digelar Badan Advokasi Hukum dan HAM (Bakumham) DPD Partai Golkar Provinsi Bali pada Jumat (20/8/2021) bertempat di Sekretariat DPD Partai Golkar Provinsi Bali. Setelah mendengarkan masukan yang ada dari para narasumber, stakeholder, para pelaku LPD dan juga memperhatikan fakta empiris di lapangan, Golkar Bali mendorong adanya ruang untuk mengkaji urgensi revisi Perda LPD. 

“Kami melihat ada hal-hal yang menjurus agar Perda LPD ini dikaji untuk direvisi. Perlu kajian akademis untuk revisi Perda LPD ini,” kata Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. Nyoman Sugawa Korry.

Ia menegaskan LPD secara historis lembaga yang didirikan untuk menopang desa adat. Kekuatan desa adat sangat dipengaruhi oleh eksistensi dan keberhasilan pengelolaan LPD. Faktanya LPD yang berhasil akan memperkuat desa adat dan begitu sebaliknya. 

“LPD yang sehat dan kuat bermuara pada kuatnya desa adat dan kuatnya masyarakat Bali,” tegas Sugawa Korry yang juga Wakil Ketua DPRD Bali ini.

Webinar kali ini mengundang beberapa narasumber baik offline maupun online. Diantaranya Ketua BKS-LPD Bali Nyoman Cendikiawan dari aspek filosofi dan kelembagaan, peneliti LPD Dr. I Nyoman Sukandia, S.H., M.H., dari aspek yuridis, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udaya Prof. Dr. I Wayan Ramantha, S.E., M.M., Ak., dari aspek ekonomi sosiologis, dan Ketua Bakumham Golkar Bali Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati menyampaikan fakta dan persoalan empiris LPD di Bali. 

Webinar dipandu moderator Dewa Made Suamba Negara yang juga Wakil Ketua Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPD Partai Golkar Provinsi Bali. Hadir pula Ketua Panitia Webinar I Made Bandem Dananjaya, S.H., M.H., Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Bali Wayan Rawan Atmaja, serta Pengurus Bakumham Golkar Bali.

Ketua Bakumham Golkar Bali Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati menyampaikan paparannya yang bertajuk “Data Empiris Terhadap Kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Secara Sampling.” “Bahwa fakta-fakta, permasalahan dan konklusi yang kami sampaikan dalam webinar ini berdasarkan data empiris yang kami dapat di lapangan,” ungkap Sri Wigunawati mengawali paparannya.

Sri Wigunawati juga membeberkan fakta dan permasalahan empiris seputar LPD di Bali. Pertama, kepengurusan LPD masa jabatan ketua LPD tidak terbatas. Dengan masa jabatan yang tidak terbatas itu akan menyebabkan potensi penyimpangan.

Kedua, perihal struktur pengelola LPD ditemukan secara sampling didapati ada hubungan kekerabatan dalam pengelolaan. Dalam pengelolaan apabila ada hubungan kekerabatan akan menimbulkan nepotisme dan kolusi.

Ketiga, lemahnya sumberdaya manusia didapati panureksa tidak melaksanakan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti melakukan laporan bulanan, triwulan, tahunan, audit berkala dan monitoring terhadap lpd. Apabila panureksa tidak melakukan pengawasan sesuai peraturan yang berlaku maka apabila terjadi permasalahan di LPD tidak bisa diketahui dengan cepat. Keempat, lemahnya pengawasan dan kopentensi pengawas. Lemahnya pengawasan prajuru desa menyebabkan tidak cepat diketahuinya persoalan yang ada di LPD. 

Kelima, tidak ada transparansi laporan keuangan kepada krama adat. Tidak ada tranparansi laporan keuangan pada saat rapat akhir tahun yang seharusnya laporan kleuangan diberikan kepada krama adat sekurang-kurangnya satu minggu sebelum paruman. Karena rasa hormat/ sungkan kepada ketua LPD, Jero Bendesa, dan Panureksa maka krama adat terhadap laporan keuangan akhirnya diterima begitu saja.

Keenam, LP LPD tidak melaksanakan tugas pokok fungsinya sebagaimana mestinya. Fungsi pemberdayaan LP LPD tidak berjalan sebagaimana mestinya, menyebabkan SOP dari pada keuangan LPD tidak berjalan dengan baik. Ketujuh, laporan keuangan hanya formalitas. Hal ini terbukti dengan tidak ada SOP tertulis mengenai prosedur permohonan penyaluran kredit; tidak ada SOP tertulis mengenai penggunaan kas/bank; tidak ada SOP tertulis mengenai penerbitan bilyet deposito.

Lalu tidak ada SOP tertulis mengenai pencairan deposito; tidak ada sop tertulis mengenai pembukaan rekening, penyetoran, dan penarikan tabungan; tidak ada SOP tertulis mengenai keamanan kas. Tidak dilaksanakan SOP dengan baik menyebabkan penyimpangan dalam praktek dan tidak sehatnya manajemen LPD dengan baik.

Kedelapan, terjadi penyimpangan terhadap semangat awal pendirian LPD (ide dasar).  Penyimpangan yang terjadi terhadap dana yang tersimpan di LPD, diinvestasikan di luar desa adat dengan hanya memperhatikan keuntungan bisnis semata-mata.

Atas fakta dan persoalan yang ada di LPD, Bakumham Golkar Bali menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, masa jabatan hendaknya harus dibatasi maksimal dua periode atau sepuluh tahun. Kedua, tidak ada hubungan kekerabatan dalam kepengurusan LPD.

Ketiga, anggota panureksa wajib mempunyai sertifikasi kemampuan dalam memahami manajemen dan keuangan LPD (profesionalisme). Keempat, tiap prajuru banjar menunjuk profesionalisme yang mempunyai kompetensi di bidangnya untuk menjadi anggota panureksa.

Kelima, LPD wajib memberikan laporan keuangan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum dilaksanakan paruman. Keenam, LP LPD terdiri dari orang-orang yang profesional yang memiliki kemampuan untuk melakukan audit independen. “Jaga LPD bisa hidup sehat, wajib ada audit dari akuntan independent,” ujar Sri Wigunawati.

Ketujuh, SOP dalam LPD harus sesuai dengan lembaga keuangan mikro (LKM). Kedelapan, mengembalikan fungsi LPD ke roh awal pendirian LPD tahun 1984 oleh pendiri Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, yaitu untuk soko guru perekonomian dan kesejahtraan krama desa adat.

Kesembilan, merekomendasikan untuk melakukan revisi terhadap Perda Nomor 3 Tahun 2017 tentang LPD dan Pergub Nomor 44 tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No.3 Tahun 2017 Tentang LPD. Hal ini harus dilakukan seiring dengan penyesuaian Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat.

“Maka sehubungan dengan poin-poin yang menjadi fakta, permasalahan dan konklusi sekiranya dapat dijadikan sebagai subtansi perubahan aturan-aturan yang baru tersebut,” harap Sri Wigunawati.

Sementara, Petajuh Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ketut Madra, mengaku lembaganya mendukung adanya rencana merevisi Perda LPD. “Kami sepakat jika ada revisi Perda dan Pergub LPD. Kekurangan di Perda diperbaiki, direvisi. Desa adat juga harus ada pararem LPD. Kembalikan marwah LPD ke pemiliknya yakni desa adat,” kata Madra.

Ketua BKS-LPD Bali Nyoman Cendikiawan menyampaikan data LPD di Bali per 30 Juni 2021 menunjukkan jumlah LPD mencapai 1.436 dengan total tabungan mencapai Rp 8,5 triliun, deposito Rp 10,6 triliun, pinjaman Rp 15,8 triiun, laba Rp 136 miliar, asset Rp 23 triliun, dan jumlah karyawan mencapai  8.243 orang.

Cendikiawan lantas menekankan pentingnya LPD agar mampu menjaga kondusivitas internal dan eksternal, baru menjaga liquiditas, dan kontinuitas usaha. “Sebesar apapun liquiditas kalau tidak didukung kondusivitas maka juga jadi masalah. LPD yang sehat kuat, produktif dan berkelanjutan, bisa kita wariskan untuk anak cucu, bermanfaat bagi desa adat dalam pembangunan fisik maupun non fisik,” pungkasnya.

Peneliti LPD Dr. I Nyoman Sukandia, S.H., M.H.,menekankan pentingya badan hukum bagi LPD sebab induk LPD itu sendiri yakni desa adat sudah merupakan badan hukum. Aspek badan hukum bagi LPD penting untuk mengantisipasi dan menyelesaikan permasalahan hukum yang menjerat LPD.

Ia pun menyarankan bentuk badan hukum yang dapat diberikan kepada LPD yakni badan hukum sosio-ekonomi religius. Dijelaskan badan hukum sosio-ekonomi religius Badan hukum yang mengemban fungsi-fungsi sosio-ekonomi yang khas, juga mengemban fungsi-fungsi sosio-religius dan sosio-kultural.

“Bentuk badan hukum ini untuk memisahkan harta kekayaan pribadi dengan kekayaan badan usaha LPD dan memperjelas secara hukum siapa yang bertanggung jawab jika LPD bangkrut,” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udaya Prof. Dr. I Wayan Ramantha, S.E., M.M., Ak.,menekankan perlu penyempurnaan alat ukur kinerja LPD dari CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity) menjadi CAMEL’S dengan memasukkan/menambahkan indikator Social Performance (Kinerja Sosial).

Menurutnya, Perda dan Pergub LPD mengukur kinerja LPD dengan indikator-indikator keuangan saja. Hanya mengukur aspek CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity). Menurutnnya dari tahun 1984 sepantasnya kinerja LPD diukur dengan aspek CAMEL’S, ditambah S (Social Performance).

“Dengan CAMEL pola pikir insan LPD akan menjadi BAU (Business As Usual). Dengan CAMEL’S Pengurus dan Pengawas LPD akan dapat menyelaraskan aktivitas sosial dan aktivitas komersial sebagai Social Enterprise,” terang Prof Ramantha.

Terkait LPD ini, baik Kabidkum Polda Bali, Petajuh Agung MDA Bali Ketut Madra, hingga Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali mengapresiasi webinar "Pemajuan LPD dari Aspek Regulasi, Kelembagaan, dan Keuangan” yang diinisiasi Golkar Bali dan seluruh pembicara sepakat perlu dilakukan penguatan dan perbaikan menyeluruh bagi LPD di Bali agar kedepannya bisa lebih baik.(BB).